Indonesia perlu ekosistem kondusif untuk tingkatkan penggunaan energi bersih

Jakarta – Untuk mempercepat transisi menuju energi bersih, Indonesia membutuhkan ekosistem yang mendukung serta kebijakan yang konsisten, mulai dari pengembangan energi terbarukan hingga menciptakan pasar yang kondusif bagi teknologi energi hijau. Hal ini disampaikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024, yang berfokus pada peluang dan tantangan untuk menciptakan ekosistem energi bersih berkelanjutan di tanah air.

Farid Wijaya, Analis Senior IESR, menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya energi terbarukan, namun belum didukung dengan kesiapan ekosistem yang memadai.

“Indonesia harus memiliki rantai pasok dan industri yang terintegrasi untuk mendukung adopsi energi terbarukan seperti PLTS, PLTB, dan hidrogen hijau. Potensi energi terbarukan kita besar, tapi tanpa dukungan ekosistem, sulit untuk menjamin keamanan pasokan dan biaya yang terjangkau,” ujar Farid dalam sesi “Establishing Domestic Advantage in Renewable Energy Supply Chain” di IETD 2024, Rabu, 6 November.

Menurut Farid, salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan sumber daya mineral kritis Indonesia, terutama melalui program hilirisasi. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku yang selama ini menjadi kendala dalam pengembangan energi bersih.

“Penggunaan mineral kritis untuk produksi baterai dan komponen energi terbarukan bisa menjadi langkah besar bagi kemandirian energi. Bila pasar domestik dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, kita tidak hanya memperkuat kemandirian, tapi juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan,” jelasnya.

Peta jalan hidrogen hijau sebagai pendorong utama

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyadari perlunya peta jalan yang jelas dalam mengembangkan ekosistem energi bersih. Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Muhamad Alhaqurahman Isa menyampaikan, bahwa peta jalan hidrogen hijau diharapkan selesai pada awal 2025, dengan proyeksi kebutuhan domestik hidrogen mencapai 9,2 juta ton pada tahun 2060.

“Peta jalan ini berbasis pada pendekatan permintaan (demand-driven), memprioritaskan kebutuhan domestik dan pemenuhan ekspor untuk hidrogen hijau. Kami berharap tahap inisiasi pada 2025–2034 mencakup pengembangan studi kelayakan, rancangan insentif, serta pembentukan rantai pasok,” tutur Alhaqurahman.

Dengan proyeksi produksi hidrogen hingga 17 juta ton, peta jalan ini diharapkan menjadi acuan penting dalam mempercepat adopsi hidrogen hijau di Indonesia, sekaligus mendorong investasi di sektor energi bersih.

IESR menekankan bahwa kebijakan pendukung sangat penting untuk menciptakan iklim investasi yang aman bagi para pelaku industri energi bersih di Indonesia. IESR mengusulkan pemerintah perlu mempercepat proses hilirisasi serta menciptakan insentif yang jelas bagi industri energi terbarukan.

“Kebijakan ini harus mudah diakses dan ramah investor. Peta jalan yang konsisten dan insentif pajak akan memperkuat rantai pasok dan meningkatkan kemandirian energi nasional,” tambah Farid.

Di sektor PLTS, Indonesia memproyeksikan kapasitas mencapai 115 GW pada tahun 2060, dengan perkiraan investasi sekitar USD 110,6 miliar. Dalam konteks ini, pemerintah berupaya memastikan agar investasi tersebut berasal dari industri dalam negeri. Ini penting, tidak hanya untuk menjamin keterjangkauan biaya, tetapi juga agar nilai ekonomi dapat tetap berada di Indonesia.

“Dengan kesiapan industri yang baik, 90% dari nilai investasi ini berpotensi memperkuat ekonomi domestik, khususnya dalam manufaktur modul surya dan komponen pendukung lainnya,” tambahnya.

Dalam forum IETD 2024, yang juga didukung Kedutaan Besar Inggris, berbagai pihak internasional turut menyatakan dukungannya dalam mempercepat pengembangan ekosistem energi bersih di Indonesia. Julio Retana, Ketua Tim UK Mentari, menyoroti dampak ekonomi dari keberadaan industri manufaktur energi terbarukan, khususnya dalam sektor baterai. Ia menyebut, pembangunan pabrik baterai berkapasitas 140 GWh di Indonesia diproyeksikan bisa menambah PDB hingga USD 10 miliar dan menciptakan lebih dari 530 ribu lapangan kerja baru. Ini adalah peluang besar yang perlu segera dimanfaatkan.

Menurut Julio, Indonesia memiliki modal yang sangat baik untuk menjadi pemimpin di sektor manufaktur energi terbarukan. Namun, perlu sinergi yang kuat antara pemerintah dan pihak swasta untuk memaksimalkan potensi ini. Dalam hal ini, dukungan dari negara lain seperti Inggris diharapkan dapat mendorong kolaborasi serta alih teknologi. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles