Ilmuwan temukan spesies anggrek tak berdaun baru di hutan Sumatra

Ilmuwan BRIN, Destario Metusala, mengidentifikasi spesies baru anggrek tanpa daun, Chiloschista tjiasmantoi, yang merupakan spesies endemik dataran tinggi Aceh. (Tangkapan layar kanal Youtube BRIN)

Jakarta – Para peneliti Indonesia telah mengidentifikasi spesies baru anggrek tanpa daun, Chiloschista tjiasmantoi, yang merupakan spesies endemik dataran tinggi Aceh, Sumatera bagian utara, demikian diumumkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada akhir bulan Maret lalu. Penemuan ini menandai catatan resmi pertama dari genus Chiloschista di pulau ini dan menyoroti keanekaragaman hayati yang masih belum terungkap di wilayah tersebut.

Ilmuwan BRIN, Destario Metusala, mengatakan bahwa anggrek tersebut ditemukan dalam sebuah survei botani pada tahun 2019. Anggrek ini tumbuh secara epifit di batang pohon tua di habitat semi-terbuka, lembab, dan berangin pada ketinggian 700-1000 meter di atas permukaan laut. Bentuknya yang tidak berdaun dan akarnya yang seperti kamuflase membuatnya sulit dikenali-sampai bunga-bunga kuning cerahnya mekar, biasanya pada pertengahan tahun dan sekali lagi pada bulan November hingga Desember.

“Anggrek spesies baru ini telah berevolusi secara unik dengan mereduksi organ daunnya secara ekstrim sehingga proses fisiologi penting seperti fotosintesis dilakukan pada organ akarnya. Keunikan ini membuka peluang riset lanjutan untuk menelisik berbagai aspek biologinya” ungkap Destario.

Meskipun mirip dengan Chiloschista javanica dari Jawa, spesies baru ini memiliki kelopak bunga berbentuk lonjong-bulat telur yang berbeda dan struktur bibir yang unik. Bunga ini dapat menghasilkan hingga 30 kuntum bunga secara bersamaan pada satu tangkai bunga. Adaptasi fisiologisnya-melakukan fotosintesis sepenuhnya melalui akarnya-menawarkan peluang unik untuk penelitian lebih lanjut tentang evolusi anggrek.

Diberi nama untuk menghormati filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto, C. tjiasmantoi diklasifikasikan sebagai Terancam Punah menurut Daftar Merah IUCN, karena jangkauannya yang terbatas dan ancaman dari perluasan perkebunan dan perubahan iklim. Para peneliti menekankan perlunya perluasan kawasan lindung di Aceh untuk melindungi spesies ini dan spesies langka lainnya.

Deskripsi ilmiah lengkapnya telah dipublikasikan di jurnal internasional PhytoKeys (DOI: 10.3897/phytokeys.252.138190). (nsh)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles