Ilmuwan nyatakan prihatin atas alokasi 20 juta hektar lahan di Indonesia untuk pangan dan energi

Antropolog lingkungan Universitas Indonesia, Suraya Afiff, saat mempresentasikan makalah kebijakannya di kampus UI Depok, 12 Maret 2025 (nsh)

Jakarta – Rencana Pemerintah Indonesia untuk mengalokasikan 20 juta hektar lahan hutan untuk produksi pangan dan energi telah memicu keprihatinan yang cukup besar di kalangan para ahli lingkungan dan pembela hak-hak masyarakat adat. Sebuah ringkasan kebijakan (policy brief) baru-baru ini memperingatkan bahwa inisiatif tersebut dapat menyebabkan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan peningkatan emisi karbon, serta mengancam mata pencaharian masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Antropolog lingkungan Universitas Indonesia, Dr. Suraya Afiff, penulis utama risalah kebijakan tersebut, mengatakan dalam sebuah diskusi pada hari Selasa, 12 Maret, bahwa isu pengabaian kepemilikan lahan telah berlangsung selama beberapa dekade. “Bagaimana 20 juta hektar hutan itu diperoleh? Itu semua dibuat dalam konteks peta kementerian. Saya tahu persis bagaimana orang-orang yang membuat (peta) ini berpikir. Diasumsikan tidak ada kampung, tidak ada desa.”

Kebijakan yang diperkenalkan oleh Kementerian Kehutanan ini mengidentifikasi area lahan yang luas sebagai lahan yang dapat dikonversi, namun banyak dari lahan-lahan tersebut yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat adat. Para kritikus berpendapat bahwa asumsi pemerintah bahwa lahan yang “tidak memiliki izin” adalah lahan kosong mengabaikan keberadaan masyarakat yang telah lama bergantung pada hutan sebagai sumber makanan, obat-obatan, dan identitas budaya.

Suraya lebih lanjut menyoroti bahwa 96,4% hutan produksi telah dialokasikan kepada perusahaan-perusahaan swasta selama satu dekade terakhir, yang memicu konflik lahan karena masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. “Ketika konsesi dikeluarkan, konflik pun terjadi,” katanya. “Di lapangan, banyak terjadi penangkapan karena dalam peta kementerian, 120 juta hektar atau 63% dari luas daratan Indonesia dianggap sebagai lahan kosong. Hal ini sudah terjadi sejak tahun 1967 dan tidak berubah sampai sekarang.”

Risiko lingkungan dan sosial

Transformasi hutan berskala besar menjadi lumbung pangan dapat mempercepat deforestasi dan emisi karbon, sehingga menghambat tujuan Indonesia untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050. Prof. Jatna Supriatna menekankan bahwa kehilangan keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit sudah sangat parah. “Keanekaragaman hayati sudah sangat berkurang di perkebunan kelapa sawit. Ada sesuatu yang disebut ‘sindrom hutan kosong’,” ujarnya.

Prof. Jatna juga menantang asumsi mengenai ketersediaan lahan, dengan mengoreksi pernyataan Suraya sebelumnya: “Saat ini, luas hutan hanya 96 juta hektar atau 51,2% dari luas daratan Indonesia.” Ia memperingatkan, “nilai bersih saat ini dari hutan lebih besar daripada perkebunan kelapa sawit”, dan menekankan bahwa hutan memiliki nilai ekonomi jangka panjang yang melebihi keuntungan pertanian jangka pendek.

Kurangnya transparansi hukum seputar alokasi lahan ini juga menuai kritik. Prof. Sulistyowati Irianto berpendapat bahwa proses tersebut mencerminkan “legalisme otokratis”, di mana hukum dibuat untuk menjustifikasi kepentingan kekuasaan dan bukan untuk menegakkan keadilan lingkungan. “Yang dibutuhkan saat ini adalah keadilan ekologis,” katanya. “Reformasi hukum dan kebijakan harus memiliki perspektif keadilan ekologis.”

Pengetahuan adat dan konservasi pangan

Selain konflik lahan, keanekaragaman pangan lokal juga terancam. Hayu Diah, seorang pelestari pangan masyarakat dari Yayasan Mantasa, berbagi pengalamannya bekerja dengan para perempuan pedesaan di Nusa Tenggara Timur untuk mendokumentasikan dan melestarikan tanaman liar yang dapat dimakan. “Dalam satu hari, kami mengumpulkan 275 tanaman liar yang dapat dimakan,” katanya. “Para perempuan mengatakan bahwa itu baru sedikit, masih banyak lagi jenisnya. Sayangnya, beberapa tanaman tidak lagi dapat ditemukan atau punah.”

Namun, Hayu juga mencatat adanya ketidaktertarikan di kalangan generasi muda, dengan mengatakan, “Sayangnya, anak muda tidak tertarik untuk mengetahui hal ini.” Hilangnya pengetahuan pangan tradisional, ditambah dengan konversi lahan berskala besar, dapat mengikis ketahanan pangan lokal.

Rekomendasi untuk penggunaan lahan berkelanjutan

Untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan keadilan lingkungan dan sosial, para ahli mendesak pemerintah untuk melakukan penilaian lahan secara menyeluruh sebelum menyetujui konversi skala besar, untuk memastikan bahwa setiap pembangunan didasarkan pada data yang akurat dan bukan pada asumsi lahan kosong. Alih-alih membuka hutan, mereka merekomendasikan untuk memprioritaskan intensifikasi pertanian di lahan pertanian yang sudah ada untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi tanpa memperparah deforestasi.

Melindungi hak-hak atas tanah adat dan melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan sangat penting untuk mencegah penggusuran dan menegakkan keadilan sosial. Selain itu, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam alokasi lahan sangat penting untuk mencegah korupsi dan perampasan lahan, serta melindungi keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat yang terkena dampak.

Dengan semakin cepatnya laju deforestasi dan semakin parahnya perubahan iklim, para aktivis menekankan perlunya kebijakan yang menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan ekologi dan sosial. (nsh)

Foto banner: shutterstock

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles