IESR: Transisi energi butuh keadilan, mitigasi dampak terhadap pekerja jadi kunci

Jakarta – Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan, atau yang dikenal sebagai transisi energi, diperkirakan akan membawa dampak signifikan pada masyarakat di Indonesia. Untuk mengurangi dampak negatif ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan pentingnya memiliki definisi dan indikator yang jelas mengenai transisi energi berkeadilan yang disesuaikan dengan konteks Indonesia.

“Kejelasan konsep dan cakupan transisi energi berkeadilan akan meminimalisir risiko sosial, ekonomi, dan teknologi dari proses transisi energi,” ujar Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, Wira A Swadana, dalam keterangan tertulis pada acara Just Transition Dialogue II, Minggu, 28 Juli.

Transisi energi berkeadilan, menurut IESR adalah proses peralihan dari sistem sosial-ekonomi intensif karbon menuju sistem sosial-ekonomi rendah karbon dengan tujuan mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, energi, dan lingkungan yang ada, serta mitigasi masalah potensial yang muncul dari transisi. Wira menjelaskan, pendekatan multisektoral dan multipihak diperlukan di berbagai tingkatan untuk mencapai sistem rendah karbon yang bermanfaat dan tidak merugikan secara signifikan pihak-pihak terkait.

Lebih lanjut, Wira memaparkan tiga pendekatan utama untuk mencapai tujuan transisi berkeadilan yakni transformasi ekonomi, transformasi sosial-politik, dan pelestarian lingkungan. “Transformasi ekonomi melibatkan empat komponen utama yaitu pengentasan kemiskinan, kemajuan ekonomi berkelanjutan, pekerjaan hijau, dan resiliensi ekonomi. Setiap komponen memerlukan indikator yang relevan seperti Produk Domestik Bruto (PDB), pertumbuhan investasi, dan bauran energi terbarukan,” jelas Wira.

Selain itu, Wira menegaskan pentingnya transformasi sosial-politik untuk mendukung kebijakan dan regulasi yang mendorong transisi berkeadilan. “Pembangunan manusia dan inklusivitas masyarakat adalah komponen penting dalam transformasi ini,” katanya.

Pelestarian lingkungan juga harus menjadi prioritas dalam setiap langkah transisi energi, termasuk perlindungan keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Pada kesempatan sama, Ketua Umum Forum Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru, Royanto Purba, menyoroti pentingnya mitigasi dampak negatif dari hilangnya pekerjaan di sektor energi fosil seiring dengan transisi energi berkeadilan.

“Mitigasi ini dapat dilakukan melalui pengembangan program pelatihan dan keterampilan, penyediaan jaring pengaman bagi pekerja yang terdampak, peningkatan dialog sosial, serta keterlibatan pekerja dan komunitas dalam prosesnya,” ungkap Royanto.

Royanto juga menekankan perlunya koherensi dan harmonisasi kebijakan, serta pembentukan dewan tripartit transisi energi berkeadilan antara pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja.

“Kita memiliki NDC (Nationally Determined Contribution) dengan berbagai target penurunan emisi yang dapat berdampak pada pengurangan jumlah pekerjaan di sektor energi fosil. Hal ini harus diinformasikan kepada serikat pekerja untuk antisipasi dampaknya,” tambahnya.

“Perlu adanya peta jalan ketenagakerjaan yang jelas untuk memberi arah bagi pekerja menghadapi transisi energi.”

Dengan komitmen yang kuat dan kolaborasi dari semua pihak, Indonesia dapat mencapai transisi energi berkeadilan yang tidak hanya mengurangi emisi tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan untuk semua. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles