
Jakarta – Tanpa adanya intervensi kebijakan yang kuat, negara-negara di Asia Tenggara diprediksi akan tetap bergantung pada bahan bakar fosil hingga 75 persen dalam beberapa dekade mendatang, menurut kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), Kamis, 20 Februari. Ketergantungan ini berisiko memperburuk emisi karbon, meningkatkan biaya energi, serta menghambat upaya transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa meskipun ASEAN merupakan kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia, transisi energi masih berjalan lambat. Porsi energi terbarukan dalam total pasokan energi primer ASEAN saat ini baru mencapai 15,6 persen, jauh dari target 23 persen pada 2025.
“Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, bahan bakar fosil akan terus mendominasi dan menyuplai hingga 75 persen kebutuhan energi di ASEAN. Hal ini berdampak besar, tidak hanya pada peningkatan emisi karbon, tetapi juga pada ketahanan energi dan stabilitas ekonomi di kawasan,” ujar Fabby dalam seminar “Accelerating Energy Transition in Southeast Asia and the Role of ASEAN Chairmanship Malaysia” yang digelar di Putrajaya, Malaysia.
Menurut data IESR, negara-negara ASEAN menghabiskan lebih dari USD 130 miliar untuk impor minyak pada 2023, hampir empat kali lipat dari total investasi dalam energi terbarukan. Subsidi bahan bakar fosil juga terus meningkat dan mencapai lebih dari USD 105 miliar pada 2022. Bahkan, tanpa perubahan kebijakan, ASEAN diprediksi akan menjadi importir bersih gas alam pada 2027, dengan pengeluaran impor bahan bakar fosil yang dapat mencapai lebih dari USD 140 miliar pada 2030.
“Situasi ini semakin memperburuk posisi ASEAN dalam menghadapi tantangan energi global. Jika terus mengandalkan bahan bakar fosil tanpa strategi transisi yang jelas, biaya energi akan semakin mahal, anggaran negara semakin terbebani, dan risiko geopolitik meningkat,” tambah Fabby.
Untuk mengatasi tantangan ini, IESR mengusulkan ASEAN Energy Transformation Agenda yang bertumpu pada empat pilar utama. Pertama, percepatan pengembangan dan integrasi energi bersih dengan membentuk ASEAN Just Energy Transition Partnership (ASEAN-JETP), yang berpotensi membuka pendanaan hingga USD 130 miliar per tahun hingga 2030. Kedua, menjadikan ASEAN sebagai pusat manufaktur energi bersih dengan menarik investasi lebih dari USD 100 miliar dalam sektor energi surya, kendaraan listrik, baterai, turbin angin, dan hidrogen hijau. Ketiga, memperkuat investasi hijau melalui perluasan taksonomi hijau ASEAN dan penerbitan obligasi hijau. Keempat, meningkatkan koordinasi kebijakan dan pengembangan tenaga kerja dengan membentuk ASEAN Clean Energy Workforce Initiative, yang diproyeksikan menciptakan lebih dari 3 juta lapangan kerja di sektor energi bersih.
Dr Norasikin Ahmad Ludin, Deputi Direktur Solar Energy Research Institute (SERI) di Universiti Kebangsaan Malaysia, menegaskan bahwa ASEAN berada di titik krusial dengan meningkatnya permintaan energi dan urgensi mitigasi perubahan iklim.
“Malaysia sebagai Ketua ASEAN 2025 memiliki peluang strategis untuk memimpin integrasi energi bersih di kawasan. Dengan kebijakan yang tepat, ASEAN bisa menjadi pusat inovasi dan pengembangan energi terbarukan yang kompetitif,” ujarnya.
Sementara itu, Dr Nora Yusma Binti Mohamed Yusoff, Direktur Institute of Energy Policy and Research (IEPRe), menyoroti pentingnya transformasi teknologi dalam mendukung transisi energi.
“ASEAN harus mulai beralih dari ketergantungan pada teknologi luar negeri ke pengembangan teknologi energi bersih secara mandiri. Selain itu, kebijakan perdagangan hijau perlu dirancang untuk mengurangi dampak emisi karbon dan memastikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di kawasan ini,” jelasnya.
Dengan tantangan yang semakin besar, para pakar sepakat bahwa transisi energi di ASEAN membutuhkan langkah nyata dan kebijakan yang lebih ambisius. Jika tidak, ketergantungan tinggi pada bahan bakar fosil akan terus menjadi penghambat utama bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di kawasan. (Hartatik)