Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai alokasi porsi hibah dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) perlu ditingkatkan untuk mendukung aspek transisi berkeadilan yang luas serta dapat mengimplementasikan dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (comprehensive investment and policy plan/CIPP).
Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo mengatakan, implementasi transisi energi berkeadilan butuh porsi hibah dalam skema JETP minimal 10% sampai dengan 15% atau sekitar USD 2 miliar hingga USD 3 miliar. IESR menyadari bahwa meningkatkan alokasi hibah dalam skala yang diusulkan memerlukan kerja sama dan komitmen kuat baik dari pemerintah Indonesia maupun dari mitra internasional JETP.
IESR juga menekankan pentingnya melibatkan konsultasi publik yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan terkait JETP, untuk memastikan proyek ini mencerminkan kebutuhan serta aspirasi masyarakat secara lebih akurat. Transparansi dan partisipasi masyarakat yang lebih besar akan memperkuat legitimasi JETP dan lebih berkelanjutan.
“Sebagai penerima manfaat yang paling besar, publik berhak memberikan masukan terhadap dokumen CIPP. Publik lebih memahami kondisi riil di lapangan, sehingga partisipasi mereka akan memastikan bahwa aspek transisi berkeadilan, yang merupakan salah satu semangat dari JETP, dapat terefleksikan,” kata Deon.
Di awal proses penyusunan dokumen ini, kesekretariatan JETP hanya menggelar satu sesi FGD yang dibuka untuk komunitas masyarakat sipil. Harapannya, di bagian kedua proses penyusunan dokumen ini, jumlah sesi FGD bisa ditingkatkan. IESR mendorong agar draf dokumen dibagikan terlebih dahulu agar dapat dipelajari sebelum sesi FGD.
Berdasarkan studi IESR, kebutuhan pendanaan untuk transisi energi hingga 2050 jika ingin sesuai dengan target Persetujuan Paris, investasi yang perlu dikeluarkan Indonesia senilai USD 1,3 triliun atau rata-rata USD 30 miliar hingga USD 40 miliar setiap tahun. Sementara itu, apabila hanya sampai 2030 dibutuhkan paling tidak USD 130 miliar. (Hartatik)