Jakarta-Kendati para pemimpin ASEAN menyatakan dukungannya terhadap energi terbarukan, mereka tetap memprioritaskan batu bara dan gas sebagai bagian dari bauran energi, dengan fokus pada teknologi penyimpanan emisi dan penangkapan karbon (CCS/CCUS). Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam pernyataannya Jumat, pendekatan setengah hati ini menghambat kemajuan kawasan ini dalam memerangi perubahan iklim dan mencapai target iklim global. Pertemuan Menteri Energi ASEAN (AMEM) ke-42 diadakan pada hari Kamis di Laos.
IESR menyoroti bahwa untuk mengurangi kenaikan suhu global, ASEAN perlu mempercepat transisinya menuju energi terbarukan. Meskipun ada diskusi yang sedang berlangsung mengenai sumber-sumber energi terbarukan, penekanan pada bahan bakar fosil dan teknologi batu bara bersih (CCT) dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan iklim.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyatakan bahwa energi terbarukan harus menjadi pusat dari transisi energi di kawasan ini dan mendesak adanya komitmen yang lebih kuat untuk mendekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.
“Upaya untuk memperkuat konektivitas energi di kawasan ini harus diimbangi dengan komitmen yang jelas dan menetapkan target bauran energi terbarukan yang signifikan untuk mendekarbonisasi sektor ketenagalistrikan,” ujar Tumiwa. Pada tahun 2022, energi terbarukan hanya menyumbang 15,6 persen dari total pasokan energi primer (TPES) ASEAN, atau hanya meningkat 0,2 persen dari tahun sebelumnya.
Terlepas dari seruan untuk bertindak, batu bara tetap menjadi bagian dominan dari bauran energi ASEAN. Pertemuan tersebut mengakui peran teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dalam mengurangi emisi dari bahan bakar fosil. Namun, IESR menyuarakan keprihatinannya terhadap strategi ini, dengan mengutip tingginya biaya dan keandalan teknologi CCS yang belum teruji, terutama di wilayah-wilayah seperti Indonesia.
Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, menekankan bahwa teknologi CCS dan CCUS masih belum ekonomis. Ia mengatakan bahwa CCS belum terbukti dapat diandalkan untuk mengurangi emisi, terutama ketika gas yang diproses memiliki konsentrasi CO2 yang rendah, yang akan meningkatkan biaya operasional. Ia juga memperingatkan bahwa kelanjutan “investasi pada CCT akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan risiko aset yang terbengkalai.”
Studi IESR memperkirakan bahwa penerapan CCS untuk menangkap 25-33 juta ton CO2 selama 10-15 tahun akan membutuhkan biaya sekitar USD 3 miliar. Biaya ini enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan investasi pada energi angin, yang dapat mencapai pengurangan karbon yang lebih besar dengan biaya yang lebih rendah. Sebagai perbandingan, pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia memiliki kapasitas 44,6 GigaWatt di tahun 2022, sehingga CCS menjadi pilihan yang lebih murah untuk mengurangi emisi.
Selain itu, IESR juga menyoroti terbatasnya keterlibatan publik dalam proses AMEM, dan mendesak adanya transparansi yang lebih besar dan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan energi di ASEAN. Agung Marsallindo, Koordinator Proyek Transisi Energi Asia Tenggara IESR, menekankan perlunya inklusivitas dalam diskusi-diskusi transisi energi. “Keterlibatan masyarakat sipil harus menjadi bagian dari transisi energi yang adil dan inklusif,” katanya. (nsh)