Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengkritik keras Bank Mandiri setelah mengumumkan keputusan refinancing senilai USD 1,27 miliar (sekitar Rp 19,24 triliun) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Sumsel-8. Menurut IESR, langkah ini bertentangan dengan tren global menuju energi bersih, sekaligus memunculkan pertanyaan terkait komitmen Indonesia terhadap target nol emisi.
Indonesia harus segera menghentikan pembangunan PLTU baru mulai tahun 2025 jika ingin mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
“Studi kami menunjukkan bahwa setelah tahun 2030, biaya pembangkitan listrik dari PLTU akan lebih mahal dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dipadukan dengan penyimpanan energi baterai. Menjaga PLTU tetap beroperasi hanya akan menambah biaya pembangkitan listrik, menghambat transisi energi terbarukan, dan merugikan secara finansial,” ungkap Fabby dalam keterangannya, Kamis, 3 Oktober.
Risiko finansial dan lingkungan yang meningkat
Refinancing dari Bank Mandiri untuk PLTU Sumsel-8 milik PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) ini juga dinilai memiliki risiko finansial. Fabby mengingatkan bahwa Bank Mandiri berpotensi menanggung risiko transisi energi yang seharusnya menjadi tanggung jawab China Exim Bank, yang sebelumnya menjadi pemberi pinjaman utama untuk proyek ini.
Selain itu, investasi ini dinilai bertolak belakang dengan tren global. Menurut Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative, perbankan di Indonesia masih gencar mendanai energi fosil. “Di Indonesia, investasi pada energi batu bara dan gas masih dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan investasi energi terbarukan. Padahal, secara global, tren justru sebaliknya, di mana investasi energi bersih mendominasi,” jelasnya.
Dampak kesehatan dan lingkungan
Meskipun PLTU Sumsel-8 menggunakan teknologi supercritical yang dianggap lebih ramah lingkungan, polusi yang dihasilkan tetap berpotensi besar. Kajian dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan bahwa PLTU dengan teknologi serupa, seperti PLTU Cirebon-1, menyebabkan ratusan kematian setiap tahun akibat penyakit pernapasan.
Menurut CREA, polusi udara dari PLTU Cirebon-1 telah menyebabkan 441 kematian setiap tahun. Ini menegaskan bahwa teknologi yang digunakan tidak cukup untuk mengatasi dampak negatif yang dihasilkan oleh PLTU batu bara.
Dengan potensi energi terbarukan yang begitu besar di Indonesia, para ahli berpendapat bahwa Indonesia seharusnya mengurangi ketergantungan pada batu bara dan mempercepat transisi ke energi hijau. Agung Budiono, Direktur Eksekutif Indonesia Cerah, mengkritik langkah Bank Mandiri.
“Bank Mandiri seharusnya mengambil kesempatan untuk menjadi pionir dan champion dalam pembiayaan proyek energi bersih yang semakin kompetitif, bukan malah memperbanyak dukungan finansial ke energi fosil, yang jelas-jelas berdampak negatif pada masyarakat,” ujar Agung.
Masyarakat sipil dan organisasi lingkungan terus mendesak perbankan untuk lebih transparan dalam rencana transisi energi mereka. Ada seruan untuk lembaga keuangan agar menetapkan target yang jelas dalam mengurangi portofolio pendanaan pada energi batu bara, dan mendukung proyek-proyek yang berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.
Sementara itu, IESR menegaskan pentingnya bagi Indonesia untuk mulai menghentikan pembangunan PLTU setelah 2025 dan secara bertahap menutup PLTU yang ada sebelum 2045. Ini merupakan langkah krusial agar Indonesia dapat menjaga komitmennya terhadap Perjanjian Paris dan mencegah bencana perubahan iklim yang lebih besar. (Hartatik)