Jakarta – Realisasi energi baru terbarukan di Indonesia pada 2023 baru mencapai 13,1% dari target ambisius 17,9% untuk mencapai penurunan emisi sebesar 23% pada 2025, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif saat memaparkan capaian sektor ESDM Tahun 2023 dan program kerja Tahun 2024.
Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengkritik pencapaian tersebut kontras dengan peningkatan produksi dan pemanfaatan energi fosil. Faktor-faktor sistemik, seperti keterlambatan lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN sejak 2019, kendala eksekusi proyek, kenaikan suku bunga keuangan, dan dampak pandemi Covid 19, diidentifikasi sebagai penyebab rendahnya pencapaian target.
“Beberapa proyek kunci, seperti PLTA Batang Toru, PLTP Baturaden, dan PLTP Rajabasa, dilaporkan mundur dalam penyelesaiannya, memberikan sumbangan terhadap rendahnya capaian bauran energi terbarukan di 2023,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam keterangan tertulis.
Lebih lanjut, Fabby juga menyoroti hambatan regulasi, seperti revisi Permen ESDM No 26/2021 yang terlambat sehingga menghambat implementasi PLTS atap. Pemerintah berencana untuk mengejar pembangunan pembangkit energi baru terbarukan skala besar, di antaranya PLTS terapung dan PLTB.
Peta jalan PLTS atap pun telah disiapkan dengan target 2023 sebesar 900 MW, dan 2024 sebesar 1800 MW. Hanya saja, menurut Fabby, regulasi PLTS atap yang tak kunjung selesai membuat adopsi PLTS atap turun di sektor residensial dan bisnis, masing-masing sebesar 20% dan 6%. Akibatnya, berdasarkan analisis IESR, pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW, jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada tahun 2023.
Ia mencatat bahwa pemerintah memiliki dua tahun untuk mencapai target tersebut dan menyarankan percepatan eksekusi proyek, lelang pembangkit skala besar, dan penyederhanaan negosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik.
Dalam hal investasi, dari target USD 1,8 miliar, hanya tercapai USD 1,5 miliar. Pada 2024, pemerintah menargetkan USD 2,6 miliar, yang masih jauh dari kebutuhan pendanaan energi terbarukan sebesar USD 25 miliar per tahun hingga 2030.
IESR mengusulkan evaluasi terhadap masalah struktural yang menyebabkan ketidakcapaian target investasi. IESR juga menyoroti kebutuhan untuk menurunkan intensitas emisi di sektor kelistrikan, termasuk opsi pensiun dini untuk PLTU PLN yang telah berusia di atas 30 tahun pada 2025. (Hartatik)