Jakarta – Pemerintah perlu mengantisipasi potensi penurunan ekspor batu bara Indonesia dengan memastikan transisi energi berlangsung secara adil, untuk mencapai transformasi ekonomi yang berkelanjutan, menurut lembaga peneliti energi dan lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR). Menurut mereka, hal tersebut dapat dilakukan dengan pendataan dampak penurunan konsumsi batubara terhadap berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, lingkungan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam seminar “Sunset PLTU dan Industri Batubara: Meninjau Arah dan Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan”, memperkirakan permintaan batu bara domestik akan mencapai puncaknya pada tahun 2025-2030. Kemudian setelah itu permintaan batubara domestik tersebut akan turun secara signifikan.
“Jika melihat tren permintaan ekspor batu bara, diprediksi ekspor batu bara akan turun setelah tahun 2025,” ungkap Fabby.
IESR mengestimasi Indonesia memiliki waktu 5-10 tahun untuk melakukan penyesuaian dengan melakukan transformasi ekonomi di daerah-daerah penghasil batu bara di Indonesia. Hal itu seiring dengan turunnya produksi batu bara yang berpengaruh terhadap berkurangnya permintaan negara dan daerah penghasil batu bara.
Fabby menekankan dalam memastikan transisi energi yang berkeadilan, setidaknya perlu memperhatikan tiga faktor yaitu keterkaitan antara ekonomi lokal dengan batu bara, kesiapan sumber daya manusia yang ada, dan rencana mitigasi dengan mempertimbangkan opsi-opsi alternatif perekonomian yang bisa dikembangkan di daerah tersebut.
Analis Kebijakan Lingkungan IESR Ilham Surya, menyatakan, transisi energi akan berdampak terhadap daerah penghasil batu bara di Indonesia, seperti Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Berdasarkan laporan IESR berjudul “Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim”, menemukan bahwa kontribusi batu bara terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) dalam satu dekade terakhir adalah sekitar 50 persen sampai 70 persen di Muara Enim dan Paser.
Menurutnya, dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royalti pertambangan batu bara berkontribusi signifikan pada pendapatan pemerintah (APBD) hingga 20 persen di Muara Enim dan rata-rata 27 persen di Paser. “Daerah penghasil batu bara memerlukan transformasi ekonomi untuk memangkas ketergantungan tinggi terhadap ekonomi yang berasal dari batu bara,” kata Ilham. (Hartatik)