Jakarta — Di balik pencapaian rasio elektrifikasi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, masih tersembunyi ketimpangan dalam hal kualitas dan keandalan akses listrik. Bagi jutaan masyarakat di pedesaan dan wilayah terpencil, kehadiran listrik belum sepenuhnya berarti peningkatan produktivitas atau kemudahan hidup. Dalam konteks ini, energi terbarukan berbasis lokal yang terdesentralisasi mulai dilirik sebagai solusi yang menjanjikan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam keterangan tertulis, Kamis, 24 April, menilai desentralisasi energi bukan hanya solusi teknis, tetapi strategi penting untuk memperkuat ketahanan energi, memperluas partisipasi masyarakat, dan meningkatkan keadilan sosial dalam transisi energi.
“Energi terdesentralisasi bukan sekadar soal membangun panel surya di atap rumah. Ini tentang membangun sistem yang inklusif, mampu menjangkau mereka yang selama ini tertinggal, dan memberikan manfaat nyata bagi kehidupan dan ekonomi lokal,” ujar Fabby.
Selama dua hari, mulai Selasa, 22 April, puluhan pakar energi dari dalam dan luar kawasan ASEAN berkumpul dalam Dialog Regional: Mempromosikan Akses Energi Terdesentralisasi di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR). Forum yang digelar dalam masa kepemimpinan Malaysia di ASEAN ini menjadi ajang penting untuk menyusun strategi bersama menghadapi tantangan energi kawasan yang semakin kompleks.
Meski sebagian besar negara ASEAN telah melaporkan rasio elektrifikasi melebihi 90 persen, kenyataannya, akses terhadap listrik yang andal, berkualitas, dan terjangkau masih menjadi kemewahan bagi sebagian masyarakat. Koneksi yang lemah, pasokan tidak stabil, dan biaya operasional yang tinggi terus membayangi kehidupan masyarakat di pelosok desa, pulau terpencil, dan wilayah pegunungan.
Fabby juga mengakui bahwa implementasi sistem ini di ASEAN masih menghadapi hambatan signifikan—mulai dari keterbatasan infrastruktur teknis, akses pembiayaan yang terbatas, hingga minimnya tenaga kerja lokal yang terlatih.
Pandangan senada disampaikan oleh Prof Ji Zou, CEO dan Presiden Energy Foundation China. Menurutnya, desentralisasi energi memiliki keunggulan dalam hal skalabilitas, keberlanjutan, dan aksesibilitas yang membuatnya ideal untuk diterapkan secara luas di kawasan ini.
“Energi terdesentralisasi akan jadi fondasi ketahanan dan kemakmuran energi ASEAN. Dengan mengembangkan mini-grid hibrida, sistem PV terdistribusi, dan bioenergi lokal, negara-negara di kawasan ini bisa mendorong inovasi, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi secara merata,” ujar Prof. Zou.
Ia juga menekankan bahwa momentum pasar kini sedang mendukung peningkatan investasi dalam sektor ini, dengan permintaan yang tumbuh seiring kebutuhan listrik produktif dari industri rumah tangga hingga UMKM.
Integrasi kebijakan, dana inovasi, dan kolaborasi regional
Dalam forum tersebut, IESR memfasilitasi diskusi yang melibatkan 29 narasumber lintas negara dan 97 peserta dari 11 negara, menghasilkan serangkaian rekomendasi strategis untuk dimasukkan ke dalam dokumen ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) 2026–2030.
Beberapa rekomendasi utama yang dihasilkan antara lain mencakup integrasi kebijakan energi terdesentralisasi ke dalam rencana aksi energi ASEAN sebagai alternatif terhadap ketergantungan pada sistem listrik terpusat. Forum juga menekankan pentingnya diversifikasi sumber pembiayaan, termasuk pembiayaan berbasis hasil (result-based financing), green bonds, kemitraan publik-swasta, dan blended finance untuk memperluas jangkauan proyek energi.
Selain itu, model pemberdayaan berbasis komunitas yang melibatkan pemerintah lokal dan masyarakat sipil dalam setiap tahap pengembangan proyek dianggap krusial untuk keberhasilan implementasi. Harmonisasi regulasi lintas negara, penyusunan roadmap nasional, serta pemberian insentif dan upaya mitigasi risiko juga diusulkan sebagai langkah penting untuk menarik lebih banyak investasi swasta.
Rekomendasi lainnya mencakup peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan melalui program pelatihan, sertifikasi regional, dan pengembangan pusat pengetahuan energi terdesentralisasi. Terakhir, forum menyarankan pembangunan platform dialog dan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan akuntabilitas serta mendorong evaluasi rutin antarnegara.
Kolaborasi kunci masa depan energi ASEAN
Chrisnawan Anditya, Plt. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama di Kementerian ESDM RI, menyoroti pentingnya kerja sama lintas batas dalam mempercepat adopsi energi terdesentralisasi.
“Regulasi di tiap negara mungkin berbeda-beda, tapi tujuannya sama: memastikan semua masyarakat mendapatkan akses energi yang adil dan berkelanjutan. Kolaborasi lintas negara, baik dari sisi kebijakan, teknologi, maupun pendanaan, adalah satu-satunya jalan untuk mencapai itu,” kata Chrisnawan.
Dengan meningkatnya kebutuhan energi seiring pertumbuhan ekonomi kawasan, pendekatan lama yang bergantung pada infrastruktur besar dan sentralisasi tidak lagi cukup. Energi terdesentralisasi yang memanfaatkan potensi lokal, melibatkan komunitas, dan berakar pada keadilan sosial mulai mengambil tempat sebagai solusi masa depan.
Dialog regional yang diinisiasi IESR ini bukan hanya tentang pertukaran gagasan, tetapi menandai langkah nyata untuk membangun sistem energi yang inklusif, berkeadilan, dan memberdayakan di Asia Tenggara. (Hartatik)
Foto banner: shutterstock