
Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam studi terbarunya menemukan bahwa masyarakat yang saat ini tinggal di daerah penghasil batu bara, nantinya akan terkena dampak transisi energi di sisi penghidupan dan ekonomi wilayah secara umum.
IESR menekankan perlunya mitigasi dampak transisi energi di wilayah penghasil batubara sebagai fokus utama bagi pemerintah pusat dan daerah dan memprioritaskan aspek keadilan dalam proses transisi energi agar masyarakat dapat beralih dari sistem ekonomi berbasis fosil ke ekonomi yang berkelanjutan.
IESR merilis hasil kajian berjudul “Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim” dengan studi kasus di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur, dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan, pemerintah perlu memperhatikan fenomena transisi energi di wilayah penghasil batubara agar dampaknya dapat ditanggulangi. Saat ini Indonesia masih memiliki waktu untuk mempersiapkan proses transisi energi, namun waktunya tidak cukup lama.
“Jangan sampai saat industri batubara berakhir, daerah tidak siap untuk melakukan transformasi,” ujar Fabby saat membuka acara media dialogue dengan judul ‘Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia: Studi Kasus Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Paser”.
Beberapa potensi transisi energi melibatkan kesadaran untuk tidak hanya mengandalkan satu sumber pendapatan daerah, seperti sektor batubara, serta adanya inisiatif perusahaan untuk diversifikasi bisnis di luar batubara dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai sumber dana untuk pemberdayaan masyarakat.
Meskipun demikian, potensi tersebut masih terkendala oleh sejumlah hambatan, termasuk keterbatasan kewenangan pemerintah daerah, kurangnya kapasitas keuangan, dan kurangnya infrastruktur kesehatan dan pendidikan.
“Kami mendorong agar pemerintah pusat dan daerah dapat melakukan transformasi ekonomi dengan memanfaatkan sektor unggulan setiap daerah penghasil batubara. Misalnya, Kabupaten Paser dapat fokus pada sektor pendidikan dan jasa keuangan, sementara Kabupaten Muara Enim dapat mengembangkan sektor akomodasi dan jasa makanan yang telah menunjukkan kinerja yang baik dibandingkan dengan daerah sekitarnya,” imbuh Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.
Sementara itu, Rusdian Noor, Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, menambahkan, PDRB Kabupaten Paser pada tahun 2022 mencapai 75%, yang digunakan untuk membiayai pembangunan daerah, dan sebagian besar disumbang oleh sektor pertambangan. Oleh karena itu, transisi energi dengan diversifikasi sektor ekonomi harus mampu menggantikan kontribusi sektor pertambangan.
“Jadi kami tidak kehilangan daya dalam melaksanakan pembangunan,” kata Rusdian Noor.
Sementara itu, Mat Kasrun, Kepala Bappeda Kabupaten Muara Enim, menyuarakan harapannya agar pihaknya dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan terkait transisi energi dan mendapatkan kewenangan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Ia juga berharap mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat, termasuk keleluasaan dalam wewenang atau perizinan dalam pengembangan sektor ekonomi baru di daerah. (Hartatik)