IESR dorong pemerintah kenakan pungutan 2,5% ekspor batu bara untuk transisi energi

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memberi keterangan pers disela Media Lunch di Rosti Café, Kamis, 6 Februari. (Hartatik)

Semarang – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengusulkan agar pemerintah mengenakan pungutan sebesar 2,5% pada ekspor batubara Indonesia. Dana yang terkumpul nantinya akan dialokasikan untuk mendanai pengembangan energi terbarukan melalui mekanisme pendanaan khusus, sehingga sektor energi dapat bertransformasi secara mandiri tanpa harus bergantung pada hibah asing.

“Ekspor batubara kita mencapai hampir 500 juta ton per tahun. Dengan menerapkan pungutan 2,5% secara rutin, kita bisa mengumpulkan dana yang cukup besar untuk dimasukkan ke dalam satu fund khusus, misalnya yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang nantinya bisa diakses oleh PLN maupun pelaku industri non-PLN sebagai bentuk equity,” ujar Fabby dalam sebuah diskusi Media Lunch di Rosti Café, Kamis, 6 Februari.

Mencontoh keberhasilan India

Fabby mencontoh model pendanaan energi terbarukan yang telah diterapkan di India. Di negara tersebut, batubara diproduksi secara domestik dengan kapasitas mencapai 1 miliar ton per tahun, sehingga dana untuk pengembangan energi bersih telah dialokasikan melalui National Clean Energy and Environmental Fund (NCEEF).

“Di India, tidak ada ekspor batubara yang menjadi fokus utama, sehingga mereka berhasil memanfaatkan produksi domestik untuk mendanai transisi energi. Kita seharusnya dapat belajar dari pengalaman tersebut, meskipun situasi produksi kita berbeda karena batubara Indonesia utamanya diekspor sebagai komoditas yang menyumbang pendapatan negara,” jelas Fabby.

Menurut Fabby, mekanisme pungutan ini sudah tepat diterapkan mengingat besarnya nilai ekspor batubara yang menjadi sumber pendapatan strategis bagi pemerintah. Namun, ia juga mengakui adanya hambatan terkait political will, karena sebagian pengusaha batubara yang terlibat dalam legislatif tidak mendukung tambahan pungutan.

“Kita perlu merancang tarif yang diferensial. Misalnya, tarif untuk batubara ekspor bisa ditetapkan di kisaran 2,5-3%, sedangkan untuk batubara yang digunakan secara domestik, yang tidak terkena pajak ekspor, sebaiknya tarifnya lebih tinggi. Hal ini memastikan bahwa penerimaan dari pajak dan royalti batubara dapat dialokasikan secara optimal untuk mendukung transisi energi,” tegas Fabby.

Pendanaan mandiri untuk transisi energi

Fabby menekankan bahwa dana hasil pungutan tersebut tidak harus masuk ke APBN, melainkan dikelola melalui mekanisme yang sudah ada.

“Kita telah memiliki infrastruktur institusional, seperti Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). Dengan begitu, dana pungutan ekspor batubara bisa dikelola secara khusus untuk mendukung pengembangan proyek energi terbarukan, termasuk mendukung program dedieselisasi bagi PLN di pulau-pulau kecil,” ujar Fabby.

Dalam pandangannya, penerapan pungutan ekspor batubara ini tidak hanya akan menambah penerimaan negara, tetapi juga menjadi disinsentif bagi industri batubara untuk terus mengandalkan bahan bakar fosil. Dana yang terkumpul diharapkan dapat mempercepat investasi pada proyek-proyek energi terbarukan yang selama ini masih tertinggal dibandingkan investasi pada sektor energi fosil.

“Kita harus mengalihkan arus investasi dan pendanaan dari batubara ke energi terbarukan. Dengan penerimaan yang bisa mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, target transisi energi nasional tidak lagi harus bergantung pada dana luar negeri,” pungkas Fabby.

Dengan langkah ini, IESR optimis bahwa transisi energi Indonesia akan semakin cepat tercapai dan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta mengurangi dampak negatif lingkungan yang ditimbulkan oleh industri batubara. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles