
Jakarta – Sistem kelistrikan Indonesia menghadapi tantangan baru, yaitu penurunan stabilitas jaringan akibat rendahnya inersia sistem. Dalam kondisi ini, para peniliti menilai pembangkit berbasis Internal Combustion Engine (ICE) dapat menjadi penyelamat.
Isu ini menjadi pembahasan utama dalam Workshop Stabilitas Sistem Kelistrikan Indonesia yang digelar oleh Wärtsilä Energy bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Rabu, 7 Mei. Acara yang digelar di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB ini menghadirkan para profesional energi, akademisi, serta mahasiswa teknik untuk menggali solusi konkret menjaga stabilitas jaringan listrik nasional.
“Transisi energi menuntut lebih dari sekadar pembangkit hijau. Kita juga harus memastikan sistem tetap stabil dan andal. ICE dapat berperan sebagai ‘jembatan’ untuk menjembatani kecepatan respon jaringan listrik terhadap fluktuasi energi terbarukan,” kata Febron Siregar, Sales Director Business Development Wärtsilä Indonesia, dalam sesi pembukaan.
Energi terbarukan butuh penyeimbang
Pemanfaatan pembangkit tenaga surya dan angin yang bersifat intermiten (tidak stabil) menyebabkan ineria sistem kelistrikan berkurang—yakni kemampuan sistem untuk menahan perubahan frekuensi. Jika tidak ditanggulangi, kondisi ini dapat memicu ketidakstabilan hingga pemadaman.
Dalam presentasi teknisnya, para insinyur dari Wärtsilä menjelaskan bahwa ICE mampu menyala dan menyesuaikan daya dengan cepat, serta dapat beroperasi secara efisien dalam sistem hybrid. Ini menjadikannya cocok untuk mendukung integrasi energi terbarukan, khususnya di wilayah terpencil atau sistem kelistrikan kecil.
Ketua Laboratorium Sistem Tenaga dan Dinamika Jaringan STEI ITB, Dr Ir Nanang Hariyanto MT menekankan bahwa kerja sama semacam ini penting untuk mempersiapkan generasi insinyur masa depan yang tangguh dan relevan.
“Mahasiswa harus memahami bagaimana teknologi seperti ICE bisa menjawab tantangan nyata di lapangan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan teori. Butuh pemodelan, riset, dan aplikasi langsung untuk menjaga keandalan sistem listrik nasional,” ujar Nanang.
Menurutnya, flexibility is the new baseload. Artinya, pembangkit masa depan bukan lagi sekadar soal kapasitas besar, tetapi soal respon cepat dan modularitas, sesuatu yang ditawarkan oleh ICE.
ICE: Dari baseload menjadi penyeimbang
Banyak pembangkit ICE di Indonesia saat ini masih digunakan sebagai baseload, padahal teknologinya memungkinkan untuk berfungsi sebagai pembangkit fleksibel penyeimbang energi surya dan angin.
“Dengan strategi yang tepat, ICE bisa menjadi tulang punggung transisi menuju sistem listrik rendah karbon yang tangguh. Kami berharap ICE dipandang sebagai aset strategis, bukan teknologi lama.” tambah Febron.
Workshop ditutup dengan ajakan kepada generasi muda untuk terlibat aktif dalam transformasi energi Indonesia.
“Kalian bukan hanya calon insinyur, tapi pemimpin perubahan,” pungkas Febron kepada para peserta. “Tantangan sistem kelistrikan akan semakin kompleks. Tapi dengan inovasi dan kemauan belajar, masa depan energi Indonesia bisa lebih bersih, cerdas, dan stabil,” katanya.
Acara ini menandai langkah awal dari kolaborasi strategis antara dunia akademik dan industri teknologi energi, dengan harapan mendorong lahirnya solusi yang mampu menjaga stabilitas sistem kelistrikan di tengah transisi energi nasional menuju net-zero emission. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)