Jakarta – Tahun 2024 mencatatkan dirinya sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern, mengubah wajah planet ini dengan gelombang panas ekstrem, banjir, dan kekeringan yang merajalela. Sebuah laporan dari Global Water Monitor 2024, yang melibatkan pakar dari Australian National University, menyebutkan bahwa 4 miliar orang di 111 negara terpapar dampak cuaca ekstrem tersebut.
Profesor Albert van Dijk, pemimpin studi ini, menjelaskan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan siklus air global terganggu secara signifikan.
“Pemanasan suhu permukaan laut memperburuk intensitas siklon tropis dan kekeringan, terutama di wilayah Amazon dan Afrika Selatan. Hujan lebat dan badai kini menjadi lebih sering dan mematikan,” ujarnya dilansir dari eurekalert.org, Selasa, 7 Januari.
Data dari laporan tersebut menunjukkan bahwa 2024 menjadi tahun keempat berturut-turut dengan suhu terpanas yang pernah tercatat. Suhu rata-rata daratan meningkat 1,2 derajat Celsius dibandingkan awal abad ke-20 dan 2,2 derajat Celsius dibandingkan awal revolusi industri.
Laporan ini mengatakan bahwa dampaknya bukan hanya pada cuaca, tetapi juga kehidupan manusia. Bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, kekeringan berkepanjangan, dan tanah longsor menewaskan lebih dari 8.700 orang dan memaksa 40 juta lainnya mengungsi dan mengakibatkan kerugian yang diperkirakan mencapai USD 550 miliar.
Banjir bandang di Afghanistan dan Pakistan menjadi salah satu contoh nyata dari kehancuran ini. “Lebih dari 1.000 nyawa melayang akibat banjir yang disebabkan oleh curah hujan ekstrem. Sementara itu, Brasil mengalami lebih dari 80 kematian akibat banjir yang dipicu hujan lebih dari 300 milimeter dalam waktu singkat,” jelasnya.
Di sisi lain, kekeringan parah melanda belahan selatan Afrika, menyebabkan penurunan produksi jagung hingga lebih dari 50 persen. Di wilayah Amazon, sungai-sungai mencapai level terendah dalam sejarah, memutus jalur transportasi utama dan mengganggu pembangkit listrik tenaga air.
Bencana yang meluas dan memburuk
Laporan juga mencatat bahwa kondisi ekstrem ini tidak hanya memengaruhi manusia, tetapi juga ekosistem penting dunia. Kebakaran akibat panas ekstrem membakar lebih dari 52.000 kilometer persegi hutan Amazon, mengancam salah satu paru-paru Bumi.
Sungai Yangtze dan Sungai Pearl di China membanjiri kota-kota, menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi dan kerugian panen senilai ratusan juta dolar. Sementara itu, hujan monsun yang ekstrem di Bangladesh menghancurkan lebih dari satu juta ton beras, memengaruhi ketahanan pangan jutaan penduduk.
Van Dijk menekankan pentingnya tindakan global untuk mengatasi dampak perubahan iklim ini. “Air adalah sumber daya paling vital bagi manusia. Ketika siklus air terganggu, kehidupan dan ekosistem ikut terancam,” ujarnya.
Menurut van Dijk, manusia perlu segera beradaptasi dengan kondisi yang semakin tidak menentu. “Kita membutuhkan pertahanan banjir yang lebih kuat, sistem produksi pangan dan air yang tahan terhadap kekeringan, serta teknologi peringatan dini yang lebih baik,” katanya.
Dia menambahkan bahwa perubahan iklim tidak hanya menjadi tantangan ekologis, tetapi juga sosial dan ekonomi. “Bencana ini menunjukkan bahwa kita menghadapi ancaman besar terhadap kelangsungan hidup manusia dan planet ini. Tindakan kolektif harus segera dilakukan.”
Laporan ini menjadi pengingat mendesak bahwa perubahan iklim tidak lagi menjadi ancaman masa depan, tetapi sudah nyata di hadapan kita. (Hartatik)