Gabung IPCC, dua peneliti Indonesia dorong aksi iklim ambisius

Jakarta – Dua orang peneliti dari Indonesia yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC mendorong negara-negara di dunia untuk mengambil aksi iklim yang lebih ambisius dan konkret. Mereka adalah Profesor Edvin Aldrian dan Joni Jupesta.

Dari 34 ilmuwan dunia yang tergabung dalam IPCC, kedua peneliti asal Indonesia itu menjabat posisi penting. Edvin terpilih kembali menjadi Vice Chair Working Group I, sedangkan Joni menjadi anggota The Task Force on National Greenhouse Gas Inventories (TFI).

“Kami terpilih berdasarkan pemungutan suara dari negara anggota IPCC yang dilakukan di Nairobi, Kenya, 25 hingga 28 Juli 2023,” ujar Edvin dalam siaran pers.

Sejak 2015, Edvin telah dipercaya oleh anggota IPCC dalam posisi yang sama. Namun proses untuk menjabat sebagai Vice Chair Working Group I kali ini cukup menantang karena harus bersaing dengan ilmuwan dari Australia, Selandia Baru, dan Malaysia.

Menurutnya, voting IPCC berlaku regional sesuai asal kandidat. Berhubung Edvin dari Indonesia maka voters berasal dari regional lima, yaitu Asia Tenggara, Pasifik Barat Daya, dan ASEAN. “Saya dibantu negara kepulauan seperti Tonga, negara-negara Muslim seperti Bangladesh, Bahrain, Turki, dan juga Amerika Latin,” imbuhnya.

Edvin mengungkapkan, motivasi dirinya kembali berkiprah di IPCC lantaran ingin melanjutkan kembali penelitian yang dibuatnya. Sebelumnya, Edvin telah menyiapkan suatu proyeksi dan pemodelan di wilayah Asia Tenggara yang bekerja sama dengan peneliti dari Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Hasil penelitiannya sudah bisa diakses di situs IPCC dan dimanfaatkan oleh negara-negara di dunia untuk menjadi dasar kebijakan terkait perubahan iklim.

Dalam penugasan ke depan, Edvin akan melakukan penelitian untuk laporan asesmen ke-7. Laporan ini berfokus pada tiga polar di dunia, yakni polar pertama di kutub es, polar kedua di daratan, dan polar ketiga di Himalaya. Ia juga akan melakukan penelitian di bidang iklim perkotaan yang berkaitan dengan polusi udara yang berpengaruh pada kesehatan.

Selain itu, ke depan, ia juga berharap kebijakan mitigasi perubahan iklim harus lebih kuat. Sebab, berdasarkan kalkulasi IPCC secara periodik dari tahun 2018, pencapaian kenaikan suhu 1,5 derajat celsius diperkirakan bisa terjadi tahun 2052.

Namun, perkiraan ini semakin memburuk ketika proyeksi kembali dilakukan tiga tahun kemudian atau pada 2021, yakni kenaikan suhu 1,5 derajat celsius akan terjadi pada 2042. Bahkan, temuan terakhir pada tahun ini, kenaikan suhu 1,5 derajat celsius justru akan dicapai tahun 2030.

Hal senada juga disampaikan Joni Jupesta yang merupakan dosen dan peneliti aktif di The United Nations University (UNU) Tokyo, Jepang. Ia menyepakati mitigasi perubahan iklim perlu dilakukan lebih agresif lagi. Ke depan, gugus tugas ini akan melakukan harmonisasi data antarnegara. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles