Jakarta – Ketergantungan yang terus berlanjut pada energi fosil di Asia Tenggara, khususnya oleh Indonesia dan Vietnam, mendorong kawasan ASEAN semakin terperosok dalam krisis energi berbasis fosil. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru lembaga think tank EMBER bertajuk “ASEAN’s Clean Power Pathways: 2024 Insights”.
Laporan ini mengungkapkan bahwa pertumbuhan listrik ASEAN, yang mencapai 3,6% pada tahun 2023, sepenuhnya ditutupi oleh energi fosil, terutama batu bara. Bahkan, kapasitas energi terbarukan di kawasan ini tidak tumbuh cukup signifikan untuk mengimbangi kebutuhan energi yang terus meningkat.
Indonesia, dengan peningkatan produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara sebesar 11 terawatt hour (TWh), menjadi pengguna PLTU usia muda terbesar di ASEAN. Di sisi lain, Vietnam juga berkontribusi signifikan dalam peningkatan emisi karbon, menjadikan kedua negara ini sebagai penyumbang terbesar krisis energi fosil di kawasan.
Laporan EMBER mencatat, emisi karbon ASEAN naik 6,6% menjadi 718 juta ton CO2 pada 2023, dengan Indonesia dan Vietnam masing-masing menyumbang 14 juta ton dan 20 juta ton.
“Indonesia dan Vietnam masih terlalu bergantung pada batu bara, dan ini menjadi hambatan besar bagi ASEAN untuk beralih ke energi bersih,” ujar Analis Senior Kebijakan Kelistrikan Asia Tenggara dari EMBER, Dinita Setyawati, dalam keterangannya, Kamis, 24 Oktober. Menurutnya, ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil di wilayah ini berpotensi memperburuk krisis iklim dan membahayakan keberlanjutan ekonomi.
Laporan tersebut juga memproyeksikan bahwa permintaan listrik di ASEAN akan meningkat hingga 41% pada tahun 2030. Namun, sayangnya, rencana-rencana kelistrikan yang ada menunjukkan bahwa kawasan ini masih bergantung pada energi fosil untuk memenuhi pertumbuhan tersebut. Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia juga masih mengandalkan gas, sementara Indonesia terus mempertahankan dominasi batu bara dalam bauran energi nasionalnya.
Meskipun ketergantungan pada energi fosil masih tinggi, laporan EMBER juga menyoroti peluang yang muncul dari penurunan biaya energi terbarukan. Harga energi surya turun 55-81%, sedangkan energi angin turun 33-35%, membuka jalan bagi ASEAN untuk lebih cepat beralih ke energi bersih. Dinita menegaskan bahwa ASEAN memiliki kesempatan besar untuk memanfaatkan energi surya dan angin guna memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat serta mendukung target iklim regional.
“Dengan harga energi terbarukan yang semakin murah, ini adalah saat yang tepat bagi ASEAN untuk melakukan diversifikasi energi secara besar-besaran,” kata Dinita.
Dia juga menambahkan bahwa pembangunan jaringan listrik lintas negara akan sangat membantu mempercepat transisi energi di wilayah ini. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura dalam menghubungkan jaringan listrik, yang dapat menjadi model bagi negara-negara lain di ASEAN.
Hingga saat ini, terdapat 18 rencana pembangunan jaringan listrik lintas negara di ASEAN, dan delapan di antaranya telah selesai. Jaringan ini memungkinkan ekspor listrik hingga 7,7 gigawatt (GW), dan menjadi salah satu langkah penting dalam mendorong kerja sama energi regional.
Tantangan dan kesempatan transisi energi di ASEAN
Transisi energi menuju sumber energi terbarukan dipandang sebagai langkah penting yang tidak hanya dapat mengurangi emisi karbon, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru di wilayah ASEAN. Dinita menyebutkan bahwa transisi ini menjanjikan penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan ketahanan energi, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
“Transisi energi akan membuka ribuan pekerjaan baru di sektor energi terbarukan. Di Indonesia saja, sekitar 96 ribu pekerjaan bisa tercipta di daerah penghasil batu bara,” ujar Dinita.
Meski demikian, tantangan besar masih membayangi, terutama dalam hal biaya tinggi bioenergi, yang di beberapa negara ASEAN bisa mencapai empat kali lipat dibandingkan dengan biaya energi air.
Laporan EMBER menunjukkan bahwa meskipun bioenergi memiliki potensi besar, biaya produksi listrik berbasis bioenergi di Indonesia, Malaysia, dan Thailand masih sangat mahal, berkisar antara USD 59 hingga USD 98 per megawatt hour (MWh). Ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Laos yang hanya berbiaya USD 25/MWh. (Hartatik)