Ekspansi global PLTU melambat, Indonesia tambah 1,9 GW didominasi PLTU captive

Jakarta – Laporan Global Energy Monitor (GEM) mengungkapkan bahwa pertumbuhan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) secara global menunjukkan tren yang melambat. Pada tahun lalu, penambahan kapasitas hanya mencapai 44 GW dibandingkan rata-rata 72 GW per tahun selama periode 2004-2024.

Di tengah kondisi global ini, Indonesia berhasil menambah 1,9 GW kapasitas PLTU, dan 80 persen di antaranya merupakan PLTU captive yang dirancang khusus untuk keperluan industri tertentu.

Menurut laporan GEM berjudul “Boom and Bust Coal 2025: Tracking the Global Coal Plant Pipeline,” Indonesia menempati posisi ketiga terbesar dalam penambahan kapasitas PLTU dunia. Laporan ini menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 130 unit PLTU captive dengan kapasitas masing-masing minimal 30 MW yang telah beroperasi, serta 21 unit yang masih dalam tahap pra-konstruksi atau konstruksi. Sebagian besar fasilitas ini dibangun untuk mendukung sektor hilirisasi mineral, yang telah mendorong pertumbuhan kapasitas captive dari 5,5 GW pada tahun 2019 menjadi 16,6 GW pada tahun 2024.

Sejak penetapan Perjanjian Paris pada tahun 2015, total kapasitas PLTU di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 29 GW, menjadikan negara ini sebagai salah satu pemain utama dalam sektor pembangkit listrik berbasis batubara. Dengan total kapasitas PLTU mencapai 54,7 GW saat ini, rencana Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060 menargetkan penambahan 26,7 GW lagi, dengan 75 persen dari peningkatan tersebut berasal dari PLTU captive.

Laporan GEM juga mengungkapkan, sebanyak 22 negara di dunia telah memangkas kapasitas PLTU batubara milik mereka. Penghentian operasi PLTU di Uni Eropa telah naik empat kali lipat dari 2,7 GW pada tahun 2023 menjadi 11 GW pada tahun 2024, dengan Jerman sebagai penyumbang terbesar sebesar 6,7 GW. Sementara Inggris menjadi negara keenam yang telah sepenuhnya menghentikan penggunaan batu bara sejak Perjanjian Paris.

Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam menghadapi transisi energi global. Sementara negara-negara lain di kawasan telah mulai mengurangi kapasitas PLTU batubara, termasuk penghentian operasi di Uni Eropa, Indonesia bersama China, India, dan sejumlah negara lain justru terus menambah kapasitas pembangkitnya. China menempati posisi tertinggi menambah kapasitas PLTU hingga 30,52 GW, disusul India 5,81 GW, Indonesia 1,9 GW, Bangladesh 1,26 GW, dan Korea Selatan 1,05 GW.

Lebih jauh lagi, rencana pembangunan PLTU captive yang terus berkembang ini berpotensi menimbulkan risiko stranded asset. Seiring dengan transisi global menuju energi terbarukan, infrastruktur pembangkit listrik fosil yang sudah ada dapat kehilangan nilai ekonomisnya dengan cepat, mengingat permintaan dunia akan energi rendah karbon semakin menurun.

Dalam konteks ini, pengembangan energi terbarukan menjadi kunci untuk menciptakan sistem kelistrikan yang berkelanjutan dan mendukung target pengurangan emisi nasional. Meski demikian, penambahan kapasitas PLTU captive yang signifikan menunjukkan bahwa Indonesia masih bergantung pada energi fosil untuk memenuhi kebutuhan industri strategis, khususnya di sektor hilirisasi mineral.

Dengan strategi yang jelas dan integrasi kebijakan yang lebih mendalam, pemerintah diharapkan dapat menyeimbangkan antara kebutuhan energi domestik dan upaya dekarbonisasi, sehingga target net zero emission dapat tercapai tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi nasional. (Hartatik)

Foto banner: shutterstock

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles