
Jakarta – Sejumlah pegiat lingkungan menyerukan bahwa energi baru terbarukan (EBT) di tingkat tapak atau berbasis komunitas layak masuk dalam skema pendanaan program Just Energy Transition Partnership (JETP).
Mereka berharap rencana investasi transisi energi yang dibiayai JETP dan diajukan kepada pemerintah hari Rabu, 16 Augustus, dapat mengakomodasi pembangkit-pembangkit EBT berbasis masyarakat.
Campaigner 350.org Indonesia, Suriadi Darmoko menilai, pendanaan JETP penting digunakan untuk mendanai pengembangan kapasitas baik teknis maupun manajemen pada komunitas yang sudah memiliki pembangkit energi terbarukan, reaktivasi pembangkit listrik energi terbarukan, peningkatan daya dan pengembangan jaringan ketenagalistrikan. Selain itu, juga digunakan untuk membangun pembangkit baru untuk melistriki desa dan komunitas yang selama ini belum teraliri listrik, pembangkit baru di desa dan komunitas yang memiliki potensi energi terbarukan.
“Pendanaan hibah dari JETP kepada komunitas selain memperkuat kemandirian energi untuk memenuhi kebutuhan listriknya juga memungkinkan komunitas untuk melakukan transisi sumber listriknya yang berbasis energi fosil atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis energi fosil,” ungkap Suriadi dalam webinar bertajuk ‘Kemana Uang JETP Harus Dialirkan’.
Lebih lanjut, menurutnya, pendanaan hibah JETP yang disalurkan ke komunitas akan berkontribusi langsung pada peningkatan bauran energi terbarukan dan pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan.
“Ini dan pada saat yang sama akan meningkatkan adaptasi komunitas terhadap krisis iklim,” imbuhnya.
Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS juga menyorot pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas ini dari perspektif ekonomi-politik. Menurutnya, perlu ada perubahan paradigma dalam setiap desain transisi energi, di mana komunitas menjadi episentrum dari pengembangan energi terbarukan. Studi yang dilakukan oleh CELIOS justru menunjukkan bahwa 56% masyarakat di sektor pertanian dan komunitas pedesaan lebih tertarik dengan penutupan PLTU batubara yang paralel dengan peningkatan energi terbarukan.
“Selama ini masalah transisi energi sering menjadi pembahasan yang tersentralisasi di perusahaan skala besar, dan keterkaitan dengan komunitas yang justru terdampak dari krisis iklim sering diabaikan. Padahal banyak tersedia opsi pendanaan yang bisa dikelola langsung oleh komunitas yang memiliki potensi energi bersih. Model pendanaan internasional seperti JETP setidaknya lebih diarahkan untuk mendanai transisi di level komunitas,” beber Bhima.
Sementara itu, Lathifah Hana Gusti, mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, salah satu peserta ekspedisi 350.org yang mendokumentasikan energi terbarukan di beberapa pelosok nusantara mengatakan, EBT berbasis komunitas bukan hanya ramah lingkungan tapi juga murah, sehingga dapat menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Salah satunya, komunitas masyarakat di Gunung Sawur, Lumajang dan Kedungrong, Yogyakarta, telah merasakan manfaat energi terbarukan berbasis mikro hidro (PLTMH).
“Biaya listrik mereka maksimal hanya Rp 50 ribu per bulan dengan menggunakan PLTMH. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, listrik dari mikrohidro ini juga dapat digunakan oleh para pelaku usaha untuk mengembangkan ekonomi masyarakat,” katanya. (Hartatik)