Jakarta – Dampak sosial-ekonomi terhadap tenaga kerja di sektor energi fosil adalah hambatan utama transisi energi, menurut Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Andriah Feby Misna, pada acara Electricity Connect 2024, Jumat, 29 November.
Menurutnya, pemerintah sedang mencari solusi untuk mengatasi masalah ini demi mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) yang berkelanjutan dan inklusif.
“Kita tidak bisa menutup mata terhadap dampak ini. Banyak pekerja di sektor tambang dan PLTU yang harus menghadapi tantangan ketidakpastian pekerjaan. Pemerintah sedang memetakan langkah-langkah agar mereka bisa dialihkan ke peluang kerja baru di sektor EBT,” kata Feby, dalam keterangan pers.
Di tengah tantangan ekonomi yang mengancam pekerja di sektor energi fosil, pemerintah berkomitmen mengembangkan program reskilling dan upskilling. Tujuannya adalah menciptakan pekerjaan berkualitas tinggi di sektor EBT, seperti instalasi panel surya, pengelolaan energi angin, dan sistem penyimpanan energi.
“Transisi ini bukan hanya tentang mengganti bahan bakar, tapi juga transformasi sosial. Kita harus memastikan semua pihak, terutama pekerja yang terdampak, mendapatkan manfaat,” pungkas Feby.
Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa lebih dari 267 ribu pekerja di sektor tambang batu bara dan 32 ribu pekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terdampak langsung oleh transisi energi ini. Selain itu, karakteristik energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin yang bersifat intermittent (tidak terus-menerus tersedia) menjadi tantangan teknis yang harus segera diselesaikan.
Sistem penyimpanan energi
“Kita memerlukan sistem penyimpanan energi seperti battery storage atau pompa hidro untuk memastikan energi yang dihasilkan dari sumber terbarukan dapat digunakan saat dibutuhkan. Ini bukan sekadar soal teknologi, tapi juga infrastruktur,” jelas Feby.
Sistem Penyimpanan Energi (energy storage system/ESS) kini menjadi perhatian utama. ESS memungkinkan energi yang dihasilkan saat permintaan rendah disimpan dan digunakan saat permintaan tinggi. Sistem ini melibatkan teknologi seperti baterai skala besar dan pompa penyimpanan hidroelektrik.
Direktur utama PLN Darmawan Prasodjo, menegaskan pentingnya battery energy storage system (BESS) sebagai solusi transisi energi yang lebih stabil. “EBT sangat bergantung pada kekuatan alam yang tidak selalu dapat diprediksi. Teknologi seperti BESS adalah kunci untuk mengubah kelebihan energi menjadi cadangan listrik yang bisa digunakan kapan saja,” ujarnya.
Darmawan juga menambahkan bahwa pengembangan BESS akan menjadi prioritas PLN dalam mendukung roadmap transisi energi nasional. “Kami terus mendorong inovasi agar EBT tidak hanya menjadi solusi berkelanjutan, tetapi juga efisien,” katanya. (Hartatik)