Jakarta – Indonesia dinilai belum menunjukkan langkah nyata dalam mewujudkan transisi energi yang ambisius, meskipun telah menandatangani berbagai komitmen internasional. Laporan terbaru Climate Analytics yang dirilis pekan ini menyoroti Indonesia karena masih memperluas kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, bertolak belakang dengan komitmen yang disampaikan di berbagai forum global.
Laporan berjudul “The Impact of Global Climate Pledges on National Action: A Snapshot Across Asia” itu menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam delapan negara Asia yang belum menindaklanjuti komitmen transisi energi mereka dengan kebijakan konkret di tingkat nasional.
“Salah satu kendala utama adalah sifat komitmen internasional yang sukarela dan tidak mengikat secara hukum. Hal ini membuat banyak negara, termasuk Indonesia, menyampaikan janji ambisius di forum internasional tanpa diikuti aksi nyata di dalam negeri,” ujar Dr Nandini Das, penulis laporan dari Climate Analytics, Selasa, 8 April.
Berdasarkan data laporan tersebut, kapasitas PLTU batu bara di Indonesia terus mengalami peningkatan meski sudah ada kesepakatan untuk menghentikan penggunaannya. Saat ini, PLTU menyumbang sekitar 45 persen dari total kapasitas pembangkitan listrik nasional.
Ironisnya, sejak paruh kedua tahun 2023, Indonesia masih menerbitkan izin baru dan memulai pembangunan PLTU baru dengan total kapasitas mencapai 1 gigawatt (GW). Bahkan, dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060, pemerintah memproyeksikan tambahan PLTU hingga 76,5 GW, atau naik sekitar 26,8 GW dibandingkan proyeksi tahun 2024.
“Rencana ini sangat tidak selaras dengan target penghapusan bertahap PLTU yang disampaikan Indonesia di COP26 dan pernyataan Presiden di KTT G20 Brasil,” lanjut Das.
Investasi energi terbarukan masih minim
Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan seperti surya dan angin justru stagnan. Pada tahun 2023, investasi di sektor ini hanya mencapai US$400 juta, lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand.
Menurut laporan itu, minimnya investasi disebabkan oleh kerangka regulasi yang rumit dan kurangnya insentif menarik bagi investor. “Indonesia memiliki potensi besar, namun kebijakan yang tidak ramah investasi menghambat pertumbuhan energi bersih,” tulis laporan tersebut.
Indonesia telah menandatangani beberapa kesepakatan global seperti The Global Coal to Clean Power Transition Statement dan Global Methane Pledge. Dalam peta jalan netral karbon yang disusun Kementerian ESDM, Indonesia bahkan menargetkan penghentian seluruh PLTU pada 2056, dan Presiden Prabowo Subianto menyampaikan komitmen untuk menghentikan pembangkit berbasis energi fosil sebelum 2040.
Namun, Thomas Houlie, penulis utama laporan, menilai bahwa komitmen tersebut belum tercermin dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) maupun kebijakan sektoral.
Emisi metana naik
Alih-alih menurun, emisi metana Indonesia justru naik 7 persen antara 2022–2023, meski negara ini telah menyatakan dukungan terhadap Global Methane Pledge yang menargetkan pengurangan emisi metana sebesar 30 persen pada 2030 dibandingkan tahun 2022.
Houlie menambahkan, kondisi ini menunjukkan bahwa tanpa mekanisme akuntabilitas yang kuat, komitmen iklim akan berisiko menjadi sekadar jargon diplomatik.
Selain Indonesia, laporan ini juga menyoroti negara Asia lain seperti Filipina dan Vietnam yang terus memperluas penggunaan batu bara, meski telah berkomitmen untuk menguranginya. Sementara Korea Selatan dan Jepang tetap sangat tergantung pada impor batu bara, dan Singapura masih melakukan ekspansi proyek gas alam cair.
Laporan ini menyimpulkan bahwa tahun 2025, saat negara-negara merancang ulang target NDC mereka, menjadi momen krusial untuk menunjukkan apakah komitmen iklim internasional dapat mendorong kebijakan nasional yang ambisius dan nyata. (Hartatik)
Banner photo: Narcisa Aciko/pexels.com