Butuh investasi USD 1.042 Miliar untuk capai target 587 GW pembangkit EBT pada 2060

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana memaparkan rencana implementasi pajak karbon dalam webinar IDE Katadata 2022, dengan tema “Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery”, Jumat (8/4). (Foto: Hartatik)

Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (8/4) mengungkapkan, seluruh operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan berakhir pada 2056. Sementara kebutuhan kapasitas pembangkit bertenaga energi baru terbarukan (EBT) menggantikan batubara pada 2060 ditarget mencapai 587 Giga Watt (GW).

“Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi sangat besar, sekitar 1.042 miliar USD hingga 2060,” ungkap Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam webinar IDE Katadata 2022, dengan tema ‘Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery’.

Dengan demikian, lanjut Dadan, dibutuhkan peran global untuk mendukung penurunan emisi karbon di Indonesia. Adapun peran pemerintah untuk mendukung pencapaian target tersebut di antaranya telah menerbitkan Undang-Undang No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. UU tersebut akan menerapkan pajak karbon pada PLTU batubara mulai 1 Juli 2022 dengan mekanisme cap tax.

“Pajak karbon akan dikenakan kepada PLTU yang melampaui ambang batas emisi yang ditetapkan,” terangnya.

Menurut Dadan, bila pajak karbon sudah diterapkan, maka penerimaan dari pajak karbon diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberi dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

“Kebijakan pajak karbon ini merupakan paket kebijakan komprehensif untuk pengurangan emisi dan sebagai stimulus untuk transisi menuju ekonomi hijau atau yang berkelanjutan,” jelasnya.

Sementara itu, Senior Associate, Lead Energy Taxation, International Institute for Sustainable Development (IISD), Tara Laan menyampaikan, penerapan pajak karbon akan memberikan sinyal kepada para investor soal komitmen kebijakan iklim pemerintah. Penerapan pajak karbon juga akan mendorong perusahaan untuk beralih ke teknologi energi yang lebih bersih.

Bagi perusahaan pembiayaan, pengenaan pajak karbon terhadap penggunaan energi fosil akan menjadikan pemberian kredit di sektor ini menjadi lebih berisiko dan kurang menguntungkan di masa depan.

“Sebagai sumber pendapatan baru bagi pemerintah, pajak karbon bisa dipakai untuk membiayai rupa-rupa kebijakan transisi energi. Salah satunya untuk membuat harga energi tetap terjangkau,” imbuh Tata.

Menurutnya, ada pelbagai skema penyaluran ‘subsidi’ untuk membuat harga energi tetap terjangkau, terutama bagi kelompok ekonomi rentan atau miskin, misalnya melalui bantuan tunai atau pengurangan pajak penghasilan. Pendapatan dari pajak karbon juga bisa dimanfaatkan untuk investasi infrastruktur energi bersih.

Sementara itu Deputy Head, Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action of Germany, Malin Ahlberg menjelaskan program pajak karbon sudah diterapkan di Jerman. Meski tidak memiliki pajak karbon yang spesifik, Jerman menerapkan skema pajak karbon untuk emisi sektor transportasi dan pemanas pada bangunan atau rumah tangga yang efektif berlaku pada 2021.

Kedua skema itu meliputi lebih dari 80 persen emisi gas rumah kaca di Jerman. Kebijakan pajak karbon antar negara memang tak sama. Ekonom senior di National Treasury of South Africa, Memory Machingambi, mengatakan tak ada kebijakan yang bisa berlaku sama di semua tempat.

Meski begitu, pajak karbon tetap merupakan mekanisme dan kebijakan yang efektif untuk mengubah ‘perilaku’ bisnis maupun konsumen dalam penggunaan energi. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles