Bukan kategori bencana, penanganan banjir rob terhambat pendanaan terintegrasi

Arif Gandapurnama, Governance Specialist Zurich Flood Resilience Alliance MercyCorps memaparkan relevansi laju penurunan muka tanah terhadap genangan banjir rob di Kabupaten Pekalongan dalam webinar bertajuk ‘Krisis Iklim: Ancaman Tenggelamnya Kota Pekalongan’ yang diselenggarakan Satya Bumi dan tanahair.net, Kamis (3/11). (Hartatik)

Semarang – Persoalan pelik terkait banjir rob yang hingga kini belum dikategorikan sebagai bencana menghambat pendanaan pemerintah pusat terintegrasi dengan pemerintah daerah. Seperti halnya penanganan banjir rob yang terjadi di sepanjang wilayah pesisir pantai utara (pantura) jawa.

Apalagi penanganan banjir rob selama ini masih sebatas upaya tanggap darurat. Menyikapi hal itu, Arif Gandapurnama, Governance Specialist Zurich Flood Resilience Alliance Mercy mengatakan, pihaknya terus berupaya agar banjir rob ini bisa dikatakan sebagai bencana sehingga mendapat penanganan serius dan terintegrasi. Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi daerah untuk ‘lepas tangan’ dalam penanganan dan penganggaran bencana banjir rob.

“Kami masih berupaya advokasi di level nasional, membantu revisi UU penanggulangan bencana. Masih tarik ulur soal bencana yang slow concept. Kita mencoba mengusulkan banjir (rob) pesisir dan amblesan tanah untuk menjadi definisi bencana,” ujar Ganda dalam webinar bertajuk ‘Krisis Iklim: Ancaman Tenggelamnya Kota Pekalongan’ yang diselenggarakan Satya Bumi dan tanahair.net, Kamis (3/11).

Lebih lanjut, Ganda menyayangkan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menjadi cantolan hukum bagi operasionalisasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih memilah-milah bencana berdasarkan tahapan, seperti kesiapsiagaan, tanggap darurat dan rekonstruksi. Namun lain halnya ketika banjir rob nantinya dikategorikan sebagai bencana, tentu bisa berimplikasi terhadap berubahnya mekanisme penanganan bencana yang sebelumnya bersifat slow concept.

“Agak alot begitu, kita bisa mengubah definisi bencana ini menjadi sulit ketika turunannya banyak. Kita masih struggling di level nasional,” imbuh Arif.

Meski begitu, pihaknya sadar bahwa tidak bisa mengandalkan jalur legislasi sepenuhnya. Karena itu, ia menilai perlu intens menyuarakan ke dunia internasional, bahwa banjir rob ini berdampak signifikan. Salah satunya melalui Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) 27 di Mesir pada 6 hingga 18 November 2022.

“Di COP 27, kita ada sesi khusus berbicara mengenai lost and damage, Jadi kita mencoba membalik pemikiran yang selama ini banjir itu berhari-hari, sehingga penanganannya itu ya tanggap darurat pada saat banjir itu terjadi. Kita mencoba memutar itu menjadi harus menyiapkan kerangka yang lebih antisipatif untuk bisa mengurangi dampak (banjir rob) yang sudah bisa kita proyeksikan sampai 2035.”

Ia berharap dukungan internasional itu nantinya dalam bentuk skema asuransi dengan model investasi. Meski belum popular di Indonesia, tapi sudah ada beberapa Negara yang menerapkan pendanaan seperti itu.

Hal senada diungkapkan Andi Kiky, Team Leader AF Pekalongan dari Kemitraan Partnership, bahwa penanganan banjir rob belum terintegrasi antara pusat dan daerah. Meski di tingkat nasional masih perlu dilakukan advokasi, tapi tidak melupakan upaya untuk meminimalisasi dampak di tingkat daerah.

“Kalau mengharapkan di tingkat nasional saja, di mana payung hukumnya lebih banyak bicara penanggulangan atau penanganan itu juga akan berdampak pada tingkatan daerah yang berupaya keras untuk mewujudkannya dalam program dan anggaran (APBD),” imbuh Andi.

Webinar dalam rangka Hari Kota Sedunia ini juga menghadirkan pemateri Galdita A Chulafak (Peneliti Pusat Riset Penginderaan Jauh BRIN), Annisa Rahmawati (Direktur Eksekutif Satya Bumi), Agus Purwanto S (Wakil Ketua Asosiasi Paragon dan Pengusaha Batik Indonesia), Miftah (Perencana Ahli Madya Bappeda Kota Pekalongan) dan Qomarudin (Kepala Desa Api-api Kabupaten Pekalongan). (Hartatik)

Foto banner: Pekalongan terancam tenggelam karena kenaikan permukaan air laut dan penurunan muka tanah yang antara lain disebabkan penggunaan air tanah yang tidak dikelola dengan baik dan perubahan iklim. Pantai utara Pekalongan, 2 Juli 2022. (nsh/tanahair.net)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles