BRIN: Perubahan iklim ancam hilangnya 30.120 km2 daratan Indonesia tahun 2050

Jakarta – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengeluarkan peringatan serius mengenai dampak perubahan iklim yang mengancam hilangnya luas daratan Indonesia hingga 30.120 kilometer persegi pada tahun 2050. Kajian yang dilakukan oleh BRIN menunjukkan bahwa peningkatan muka air laut akibat perubahan iklim merupakan salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan hilangnya daratan tersebut.

Wakil Kepala BRIN, Amarulla Octavian, menjelaskan bahwa perubahan iklim berdampak signifikan terhadap sumber daya air dan mengakibatkan berbagai masalah lingkungan dan sosial. “Dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air meliputi krisis air bersih perkotaan, kerawanan pangan, meningkatnya frekuensi penyakit, perubahan pola curah hujan, dan kerawanan bencana,” ujar Amarulla dalam siaran pers yang dirilis pada Senin, 22 Juli.

Data BRIN menunjukkan bahwa dalam periode 2010-2017, terjadi peningkatan sebanyak 887 kejadian bencana hidrometeorologi, termasuk banjir, longsor, kekeringan, angin puting beliung, kebakaran hutan, gelombang pasang, dan abrasi.

Profesor Riset Bidang Meteorologi, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Eddy Hermawan, menjelaskan bahwa pada tahun 2010, muka air laut meningkat sebanyak 0,4 meter, yang menyebabkan hilangnya daratan seluas 7.408 km².

“Diperkirakan pada tahun 2050, muka air laut akan meningkat sebanyak 0,56 meter, yang akan menyebabkan hilangnya luas daratan Indonesia sekitar 30.120 km²,” kata Eddy.

Eddy juga menyebutkan bahwa dampak perubahan iklim tidak hanya terbatas pada sumber daya air, tetapi juga mencakup kalender tanam, hilangnya pulau-pulau kecil, dan banjir.

“Pada tahun 2100, Indonesia diperkirakan akan kehilangan 115 pulau berukuran sedang yang berada di Provinsi Sumatera Utara sampai Papua Barat,” tambahnya.

Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, Irfan Budi Pramono, mengemukakan bahwa Solusi Berbasis Alam (nature-based solutions/NBS) memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah sumber daya air seiring dengan perubahan iklim.

“Paradigma pengaturan air harus beralih dari ‘mengalirkan’ menjadi ‘meresapkan’,” kata Irfan. Menurutnya, penerapan NBS dalam pengelolaan sumber daya air memerlukan keterlibatan banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.

Secara keseluruhan, perubahan iklim berdampak pada sumber daya air dengan berbagai cara, termasuk meningkatnya intensitas curah hujan pada musim basah, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, berkurangnya curah hujan dan debit sungai pada musim kemarau, serta bertambah panjangnya periode musim kering. Selain itu, peningkatan temperatur yang diikuti gelombang panas, perubahan ekosistem, meningkatnya intensitas dan frekuensi badai, serta abrasi pantai dan meluasnya kawasan yang terpengaruh intrusi air laut juga menjadi ancaman serius.

Dengan ancaman kehilangan daratan yang signifikan, BRIN mengajak semua pihak untuk lebih serius dalam mengatasi perubahan iklim. Upaya kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memitigasi dampak negatif yang sudah mulai dirasakan saat ini dan akan semakin parah di masa depan. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles