oleh: Hartatik
Demak – Peringatan dini gelombang tinggi akibat pasang air laut yang dirilis BMKG Maritim Semarang hampir sepekan terakhir seakan sudah biasa bagi warga di pesisir Kabupaten Demak. Pasalnya bertahun-tahun mereka hidup dalam kepungan rob.
Bahkan dalam sehari, rob bisa datang hingga dua kali. Kondisi itu dirasakan puluhan ribu warga yang tinggal di Kecamatan Sayung, Karangtengah, Bonang dan Wedung. Data yang dihimpun dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Demak sedikitnya 40 desa di tiga kecamatan itu kini menjadi langganan rob ketika air laut pasang, dengan ketinggian air yang masuk ke permukiman warga bervariasi mulai 20 sentimeter hingga satu meter.
Di Dukuh Pongangan Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, misalnya, ketinggian rob jika tidak terjadi gerhana bulan hanya berkisar 10-30 cm. Namun ketika terjadi fenomena superblood moon maupun supermoon, ketinggian rob bisa sampai satu meter lebih.
“Sehari-hari rob di Desa Purworejo memang seperti ini. Kalaupun surut, hanya sebentar. Seperti hari ini, rob naik siang nanti puncaknya sore. Malam surut, tapi siang rob mulai naik lagi,” ujar Zaenudin (54), warga Dukuh Pongangan.
Tidak sedikit sepeda motor yang mogok di tengah jalan, lantaran knalpot kemasukan air laut. Angkutan desa yang berani menerobos genangan rob pun bisa dihitung jari. Bahkan tak jarang minibus berputar balik lantaran ketinggian rob mustahil untuk dilintasi. Hanya becak montor (bentor) yang berani melintasi banjir.
Bagi nelayan dan petani tambak, kerugian yang diderita akibat rob menjadi ganda. Selain bangunan rumah dan kendaraan menjadi mudah keropos, harga jual tangkapan serta panenan tambak menjadi anjlok. Harga jual bisa turun hingga 20 persen.
“Alasan bakul (tengkulak), 20 persen itu untuk nombokin transportasi karena tidak banyak kendaraan yang mau melintasi daerah genangan rob,” imbuhnya.
Banjir rob seakan sudah menjadi teman akrab bagi para nelayan dan pembudidaya perikanan di sepanjang pesisir pantura. Bagaimana tidak, air merendam rumah dan tambak mereka berhari-hari, berminggu, berbulan dan bahkan bertahun-tahun.
Di wilayah Demak ini, rob menjadi cerita buruk yang masih terus membayangi warga. Derita warga pesisir akibat air pasang laut yang meluap tak berkesudahan hingga kini.
40 desa terdampak abrasi
Setidaknya ada 40 desa dari 4 kecamatan pesisir yang tergenang rob akibat abrasi yang makin parah. Wilayah itu meliputi 14 desa di Kecamatan Wedung, 11 desa di Kecamatan Bonang, 10 desa di Kecamatan Sayung, dan 5 desa di Kecamatan Karangtengah
Bahkan rob telah menenggelamkan dua dusun di Kecamatan Sayung, yakni Senik dan Tambaksari, Kecamatan Sayung. Sebanyak 208 keluarga terpaksa harus direlokasi ke desa lain yang lebih aman. Kini area dua dusun tersebut dihuni ribuan burung bangau setelah menjadi hutan mangrove.
Sekretaris Desa Morodemak, Mohammad Syaifudin (55) mengatakan, kondisi daratan Morodemak, Kecamatan Bonang saat ini hampir semuanya terdampak rob. Lebih lanjut, desanya yang memiliki penduduk sejumlah 6.800 jiwa tersebut, rata-rata jalan, kampung, bangunan rumahnya sudah tergenang air rob.
“Morodemak itu ada 32 RT dan 5 RW, hampir semuanya tenggelam sekarang. Bangunan rumahnya sekitar 90 persen sudah terdampak rob,” terangnya.
Syaifudin melanjutkan, air laut meluap di Desa Morodemak terjadi setiap bulan. Padahal sebelumnya banjir rob hanya terjadi di desanya sekitar 4 bulan tertentu dalam setahun. Dirinya juga menyebut air pasang laut yang menggenangi wilayahnya datang di waktu-waktu yang tak menentu.
“Dulu, (rob terjadi) April, Mei, Juni, Juli, sekarang setiap bulan selalu datang. Antara perkiraan 10-15 hari dalam sebulan dengan ketinggian 30-70 cm,” imbuhnya.
Syaifudin melanjutkan, air laut meluap di Desa Morodemak terjadi setiap bulan. Padahal sebelumnya banjir rob hanya terjadi di desanya sekitar 4 bulan tertentu dalam setahun. Dirinya juga menyebut air pasang laut yang menggenangi wilayahnya datang di waktu-waktu yang tak menentu.
“Dulu, (rob terjadi) April, Mei, Juni, Juli, sekarang setiap bulan selalu datang. Antara perkiraan 10-15 hari dalam sebulan dengan ketinggian 30-70 cm,” imbuhnya.
Selain itu, datangnya air pasang laut tiap bulan tidak menentu dalam sehari. Kadang datang pagi, sore, siang, malam. Durasi air laut meluap ke daratan terjadinya sekitar lima jam. Syaifudin menduga salah satu faktor yang menyebabkan banjir rob di Desa Morodemak semakin parah yakni pembangunan atau peninggian jalan utama kabupaten di Desa Purworejo menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
“Karena sebelum adanya pembangunan jalan, rob bisa dibagi, sekarang rob ke Morodemak semua. Tapi sejak 2018, sudah terjadi rob setiap bulannya,” tuturnya.
Kendati demikian, pihaknya mengaku setiap tahun melakukan peninggian jalan. Ia sendiri mengaku sering tidak bisa berbuat apa pun ketika menyaksikan warganya terkepung rob. Padahal rob sebenarnya lebih berbahaya daripada banjir. Tak hanya fasilitas umum yang rusak, namun bangunan milik warga menjadi mudah hancur saat ada goyangan sedikit saja.
“Banjir akibat hujan atau luapan sungai memang merusak, namun hanya saat terjadi. Sedangkan rob yang berupa genangan dan terjadi bertahun-tahun, akan menyebabkan korosi. Tanah ambles, bangunan keropos dan akhirnya roboh,” kata Sugiyanto (50), warga Morodemak.
Mansur (45), warga Desa Purworejo mengeluhkan akses menuju tempat pelelangan ikan (TPI) Morodemak, terendam banjir rob setiap hari. Ketinggian banjir bisa bervariasi, hingga mencapai 70 cm. Akibat banjir rob yang terjadi setiap hari, kata Mansur, warga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menggunakan perahu atau yang biasa disebut warga sebagai nambang perahu. Ongkos menggunakan perahu satu kali berangkat Rp 4 ribu per orang.
“Anak berangkat sekolah Rp 4 ribu, kalau tiga anak Rp 12 ribu. Belum lagi bapaknya, kalau keluarga tidak hanya sekali bisa dikalikan,” terangnya.
Selain itu kondisi banjir rob membuat kendaraan bermotor cepat rusak.
“Kampas rem motor paling lama bertahan tiga bulan, gear dan lainnya,” beber Mansur.
“Memang sudah benar-benar parah (banjir rob). Paling parah memang tiga tahun belakang ini,” keluhnya.
Tak hanya itu, warga juga tombok karena harus meninggikan bangunan rumahnya setiap tahun akibat banjir rob. Mansur mengaku sudah empat kali meninggikan bangunan rumahnya.
“2017 saya meninggikan rumah 80 cm, dan sekarang sudah tenggelam. Empat kali saya meninggikan rumah, 50 cm-80 cm. Tiga tahun tenggelam, paling lama 4 tahun,” ungkapnya.
Ketua RW 3 Desa Purworejo, Mukholidin mengatakan, jalan umum Desa Purworejo sudah terendam air dari perbatasan desa hingga menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sekitar lima kilometer.
“Sudah terendam air laut sejak dua bulan terakhir,” katanya.
Ia menyebut, angkutan umum tak berani masuk, akibatnya warga harus ojek bentor, dan harus merogoh kocek Rp 5.000 sekali jalan. Rob merendam jalan umum, jalan desa, dan gang, serta permukiman di tiga desa, yaitu Purworejo, Morodemak, dan Margolinduk setiap tahunnya.
“Rob tahun ini yang terbesar. Tahun sebelumnya hanya dua jam sudah dapat dikendalikan, sementara tahun ini bisa seharian penuh, dari pukul 8 pagi hingga 9 malam,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyebut warga harus meninggikan pondasi rumah dan memperbaiki sepeda motor, lantaran seringnya terkena air laut. Lebih lanjut, warga lebih baik naik perahu dibandingkan harus menerjang rob dengan kendaraan bermotor secara terus-terusan.
Bukan bencana
Meski derita warga pesisir akibat air pasang laut seakan tak berkesudahan, namun ironinya rob dinilai bukan merupakan bencana. Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Demak, Agus Nugroho Luhur Pambudi menyayangkan, adanya aturan yang mengganjal upaya penanganan rob di Demak.
“Dalam UU Nomor 4/ 2007, banjir rob yang menggenangi rumah warga tidak dianggap sebagai bencana alam. BPBD maupun BNPB tidak bisa berbuat apa-apa, karena regulasinya rob ini tidak termasuk kriteria bencana,” terang Agus.
Meski begitu, pihaknya mendesak agar pemerintah pusat, Pemprov Jateng dan Pemkab Demak berkoordinasi untuk menangani banjir rob yang terjadi saat ini. Apalagi pihaknya sudah berulang kali mengingatkan Pemprov maupun kementerian terkait, agar banjir rob bisa segera ditanggulangi.
Desakan itu ternyata membuahkan hasil dengan dikucurkan anggaran sebesar Rp 500 miliar dari APBN untuk pembangunan tanggul laut di wilayah Kecamatan Sayung pada 2025. Adapun tanggul laut dibangun untuk mencegah rob di Kecamatan Sayung yang berdampak hingga Jalan Pantura.
Bupati Demak, Eisti’anah mengatakan, pembangunan tanggul laut sistem polder ini sesuai usulan Pemkab Demak yang sebelumnya telah berkoordinasi dengan Bappenas. Bahkan DED tanggul laut ini telah disusun sejak 2023.
“Semua kabupaten/kota (terdampak rob) yang sudah paparan di provinsi mendapat anggaran total Rp 2 triliun, dan Demak dapat Rp 500 miliar untuk tanggul laut khusus di Sayung. Realisasinya 2025,” ungkap Bupati.
Saat ini, lanjutnya, Pemkab Demak masih melobi pusat agar tanggul laut bisa tersambung hingga ke Kecamatan Wedung perbatasan dengan Kabupaten Jepara.
Terpisah, Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Maleh Dadi Segoro justru menilai analisis dampak lingkungan (Amdal) tol tanggul laut Semarang-Demak memiliki sejumlah kelemahan.
Salah satunya kurang mendalam kajiannya terhadap potensi perubahan arus laut, amblesan tanah dan sejarah banjir rob.
“Terkait potensi perubahan arus laut, ternyata kajian Amdal hanya sebatas pada tahap kontruksi dan sifatnya hanya hipotefik,” ujar Iqbal Alma Alghofani, Dinamisator Koalisi Maleh Dadi Segoro.
Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah ini mengatakan, kontur tanah di Demak terdiri atas tanah lempung yang baru memadat dalam ratusan tahun terakhir.
Adapun saat ini, Demak telah kehilangan 5 km garis pantai, karena banjir rob, yang juga dipengaruhi keberadaan sungai. Menurutnya, pembangunan tanggul laut bukanlah solusi tepat untuk mengatasi banjir rob
Pasalnya, konstruksi tanggul itu dari beton dan sifatnya memberi tekanan. Sementara air laut akan semakin tinggi karena krisis iklim dan di sisi lain permukaan tanah menurun.
“Kerusakan lingkungan di wilayah pantai utara Jawa merupakan akumulasi berbagai kebijakan yang tidak pro terhadap lingkungan.’
Lebih lanjut, menurutnya, pembangunan tol tanggul laut juga dinilai akan berdampak pada 46 hektare kawasan hutan mangrove. Selain itu menyebabkan hilangnya sejumlah mata pencaharian warga.
“Petambak udang dan kepiting di sepanjang wilayah pesisir Semarang-Demak yang paling terdampak, karena berkurangnya kawasan hutan bakau dan pembebasan lahan tambak,” katanya.
Walhi mencatat bahwa sedikitnya ada 109 desa di Jawa Tengah tenggelam dari 1.148 desa yang tenggelam di Indonesia pada 2020. Bahkan setidaknya ada satu hektar tanah yang hilang di sepanjang kawasan pesisir Demak setiap tahunnya akibat meningkatnya permukaan air laut.
Foto banner: Banjir rob menggenangi akses jalan dan permukiman warga di Desa Purworejo Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. (Hartatik)