Jakarta – Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan dalam pengembangan biofuel sebagai bahan bakar alternatif.
Peneliti Senior BRIN Arie Rachmadi mengungkapkan bahwa minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) adalah salah satu bahan baku utama biofuel di Indonesia.
Harga bahan baku yang tinggi dan pasokan yang terbatas membuat biofuel belum mampu bersaing dengan bahan bakar fosil. Menurutnya, untuk mengatasi masalah ini, diperlukan dukungan kuat dari pemerintah agar produksi biofuel dapat mencapai skala dan harga yang lebih kompetitif.
“Produksi CPO kita cukup besar, sekitar 50 juta ton per tahun dari lahan seluas 17 juta hektar. Namun, meskipun bahan bakunya melimpah, harganya masih tergolong tinggi,” ujar Arie dalam diskusi bertajuk Decarbonizing the Future: The Role of Green Fuel in Reducing Emissions yang diadakan oleh Editor Energy Society (E2S), Kamis, 10 Oktober.
Arie menjelaskan, skema Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah membantu ketahanan pasokan bahan baku biofuel melalui dana hasil ekspor yang digunakan untuk program biodiesel. Menurutnya, pendekatan ini bisa diterapkan juga untuk jenis biofuel lainnya.
“BPDPKS adalah model yang menarik untuk mengatasi masalah harga. Skema ini dapat memastikan harga tetap kompetitif dan mempercepat penetrasi bioenergi di pasar domestik,” tambahnya.
Pemerintah juga merencanakan pengembangan lahan food estate di Indonesia Timur, yang dapat menjadi sumber pasokan baru bagi bahan baku biofuel. “Ada potensi lahan sekitar 12 juta hektar di Papua yang bisa menghasilkan sekitar 50 juta ton CPO di masa depan,” ujar Arie, mengindikasikan potensi besar Indonesia untuk mengembangkan produksi biofuel.
Taufik Aditiyawarman, Direktur Utama Kilang Pertamina Internasional (KPI), menyebutkan bahwa KPI mengembangkan skema bisnis yang melibatkan berbagai pihak dalam rantai produksi biofuel, seperti yang telah dilakukan dalam pengembangan gas Matindok.
“Kami melibatkan berbagai pihak, dari hulu hingga hilir, untuk membangun ekosistem biofuel yang terpadu. Di Cilacap, misalnya, kami bekerja sama dengan pemasok bahan baku dalam skema Joint Venture,” jelas Taufik.
Sementara itu, Ali Ahmudi Achyak, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), menegaskan bahwa selain tantangan pasokan, harga biofuel yang masih tinggi juga menjadi kendala utama.
“Biofuel dan Energi Baru Terbarukan (EBT) sering dianggap sebagai energi mahal karena skala penggunaannya belum sebesar energi fosil. Oleh karena itu, dukungan dan insentif dari pemerintah sangat diperlukan untuk menekan harga dan memastikan ketersediaan bahan baku,” kata Ali.
Ali juga menyoroti pentingnya penerapan regulasi yang mendukung program penurunan emisi karbon, seperti carbon tradin, pajak karbon, dan insentif karbon. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut harus didesain dengan baik dan disosialisasikan secara luas, termasuk di daerah.
“Kita sering mendengar tentang carbon trading dan pajak karbon, tapi apakah itu sudah sampai ke daerah-daerah? Regulasi yang menyeluruh dan pelaksanaan yang efektif akan sangat membantu,” ujarnya.
Dengan berbagai tantangan ini, pemerintah diharapkan tidak hanya memperluas program insentif tetapi juga memperkuat komitmen untuk mempercepat regulasi dan infrastruktur yang mendukung. Akses terhadap bahan baku yang terjangkau dan pasokan yang stabil merupakan elemen penting agar biofuel bisa menjadi alternatif bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan ekonomis di masa depan. (Hartatik)