Jakarta – Ketergantungan Bali pada pasokan listrik berbasis fosil, termasuk dari kabel laut Jawa-Bali, dinilai terlalu berisiko bagi keamanan energi di pulau wisata ini. Menyadari kerentanannya, Pemerintah Provinsi Bali mengambil langkah strategis dengan mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap secara masif untuk memperkuat kemandirian energi daerah.
Gubernur Bali I Wayan Koster menegaskan bahwa percepatan pemanfaatan PLTS Atap bukan sekadar program energi bersih, tetapi bagian dari kebijakan utama menuju Bali Mandiri Energi. “Saya tidak ingin Bali bergantung terus pada pasokan listrik dari luar. Semua kantor pemerintah, hotel, sekolah, vila, hingga pasar harus mulai menggunakan PLTS Atap,” tegas Koster dalam arahannya, Kamis, 15 Mei.
Potensi besar, pemanfaatan masih rendah
Berdasarkan analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), Bali memiliki potensi energi surya mencapai 22 GW, dengan potensi khusus PLTS Atap berkisar 3,3 hingga 10,9 GW. Namun, saat ini pemanfaatannya baru mencapai kurang dari 1%
“Ini jelas ironi. Di satu sisi kita punya potensi matahari luar biasa, tapi di sisi lain kita masih sangat tergantung pada pasokan dari Jawa yang bisa sewaktu-waktu terganggu,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Fabby menyebut pemanfaatan PLTS Atap yang dilengkapi battery energy storage system (BESS) merupakan cara tercepat dan termurah untuk meningkatkan ketahanan energi Bali, sekaligus mengurangi tekanan terhadap PLN dalam memenuhi permintaan listrik yang meningkat pascapandemi.
Dari pemerintah ke sektor swasta dan masyarakat
Percepatan pemanfaatan PLTS Atap akan dimulai dari bangunan milik pemerintah, kemudian menyasar sektor bisnis dan fasilitas publik. Ida Bagus Setiawan, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Provinsi Bali, menyatakan kebijakan ini akan memberikan dorongan signifikan terhadap bauran energi terbarukan di Bali.
“Dengan implementasi masif, kita bisa capai bauran energi terbarukan yang tinggi. Ini bukan hanya bicara target Bali Net Zero Emission 2045, tapi realisasi nyata,” tegas Ida Bagus.
Program ini juga mendapat dukungan dari kalangan akademisi. Prof Ida Ayu Dwi Giriantari, Ketua CORE Universitas Udayana, menyebutkan bahwa pengembangan pembangkit konvensional tak bisa dilakukan terus-menerus tanpa batas. Strategi pengelolaan permintaan harus menjadi prioritas.
“Pemanfaatan PLTS Atap secara tersebar jauh lebih efisien dari sisi ruang dan lingkungan. Ini jalan terbaik untuk menyelaraskan kebutuhan energi dengan keterbatasan ruang di Bali,” jelas Prof. Ida.
Menjadi contoh transisi energi berbasis masyarakat
PLTS Atap bukan hanya solusi teknis, tapi juga simbol partisipasi publik. Dalam beberapa studi bersama dengan Universitas Udayana, seperti program Nusa Penida 100% Energi Terbarukan 2030 dan Peta Jalan Bali NZE 2045, pemanfaatan energi surya skala rumah tangga menjadi kunci untuk memperluas akses energi bersih dan menciptakan lapangan kerja hijau.
IESR juga mendorong revisi Permen ESDM No. 2/2024 yang saat ini membatasi PLTS Atap melalui sistem kuota. IESR mendesak agar skema net-metering dan pemanfaatan PLTS Atap dengan BESS dihidupkan kembali agar lebih banyak konsumen, terutama industri dan komersial, bisa berpartisipasi.
“Jika diatur ulang, PLTS Atap bisa tumbuh pesat. Kita butuh lebih banyak inisiatif lokal seperti Bali, yang berani memimpin perubahan,” tambah Fabby Tumiwa.
Dengan peran strategisnya sebagai destinasi wisata global, Bali berpotensi menjadi contoh nyata transisi energi yang adil dan berbasis masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, komunitas lokal, dan institusi pendidikan menjadi fondasi transformasi ini.
“Kami ingin menjadikan Bali sebagai pulau yang bersih, tangguh, dan mandiri energi. Ini bukan hanya janji politik, tapi gerakan bersama warga Bali untuk masa depan,” ujar Gubernur Koster menutup arahannya. (Hartatik)
Foto banner: Gubernur Bali, I Wayan Koster meluncurkan program Percepatan Pemanfaatan PLTS Atap untuk mencapai Bali Mandiri Energi, Kamis (15/5). (Sumber: IESR)