Aktivis lingkungan sesalkan pendanaan BNI ke PLTU batubara Kaltara

Foto: 350.org

Jakarta – Sejumlah aktivis lingkungan menyesalkan BNI masih mendanai proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebesar 1,1 Gigawatt yang akan digunakan untuk mensuplai listrik ke smelter aluminium milik Adaro di Kawasan Industri “Hijau” Kalimantan Utara (Kaltara).

Suriadi Darmoko, campaigner 350.org Indonesia menilai, keputusan tersebut menunjukkan kemunduran dalam upaya pendanaan berkelanjutan bank berplat merah tersebut. Padahal International Energy Agency menyatakan bahwa untuk mencapai net zero emission pada 2050 seharusnya sudah tidak ada PLTU batu bara baru sejak 2021, guna membatasi laju kenaikan suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celsius.

“Pada September tahun lalu, BNI tidak berencana ekspansi ke sektor batu bara. Kami menilai keputusan mendanai proyek kotor ini adalah kemunduran yang sangat besar bagi pendanaan keberlanjutan,” ujar Suriadi dalam keterangan tertulis.

Menurutnya, kontribusi salah satu salah satu perbankan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) ini dalam pendanaan ke Adaro meningkat sebesar 714% sejak 2021. Bank berplat merah ini menjadi salah satu dari lima bank yang menjadi anggota sindikasi pinjaman untuk proyek milik Adaro. Empat bank lainnya, berdasarkan penelusuran data oleh tim peneliti kelompok lingkungan adalah Bank Mandiri (BMRI), Bank Central Asia (BCA), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), dan Bank Permata (BNLI). Berdasarkan penelitian, BNI berkontribusi sebesar 350 juta USD ke proyek smelter dan PLTU batu-bara baru Adaro.

Segala pendanaan ke aset batu-bara memiliki risiko transisi dan risiko stranded asset yang didorong oleh perubahan kebijakan untuk meninggalkan batu bara. Studi oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa pembangunan PLTU dinilai merugikan investor termasuk kreditur dan pemegang obligasi.

“Biaya pinjaman modal aset PLTU batu-bara saat ini relatif mahal dibanding industri lainnya, karena risiko aset terkait batu bara bisa menurun nilainya sejalan dengan fluktuasi harga batu bara, perubahan kebijakan negara tujuan ekspor, hingga dianggap tidak sejalan dengan upaya transisi energi. Keputusan BNI untuk menyokong proyek PLTU baru ini adalah keputusan yang berisiko tinggi bagi perbankan sekaligus reputasi BNI sendiri,” jelas Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS.

Dunia saat ini kian beralih dari batu bara. Skenario IEA NZE 2050 menyatakan bahwa suplai batu bara akan turun sampai dengan 48% selama 2021 – 2030 dan 91% selama 2021 – 2050. Terlebih lagi, Indonesia sudah berkomitmen untuk menutup seluruh PLTU batu bara pada 2050.

“Tren global menunjukkan bahwa deposan dan investor institusional termasuk pemegang obligasi cenderung memindahkan dana ke bank yang lebih menjauhi portfolio pembiayaan ke PLTU batu bara. Terlebih ada komitmen pendanaan JETP (Just Energy Transition Partnership) yang idealnya inline dengan penutupan PLTU batu bara. Agak aneh jika bank masih terjebak pada pola pendanaan PLTU disaat pemerintah sudah berkomitmen terhadap penutupan PLTU. Artinya, ada yang tidak sinkron antara perintah dari pusat dan bank BUMN yang seharusnya membantu pemerintah mendorong ekonomi berkelanjutan,” imbuh Bhima. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles