Jakarta – Pemerintah akan memberlakukan skema perdagangan karbon wajib secara komersial pada 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), mulai awal tahun ini. Dalam skema ini, menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, perusahaan akan diberikan izin untuk menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu atau karbon kredit.
“Jika emisi yang dihasilkan di bawah kuota, maka perusahaan bisa menjualnya melalui pasar karbon. Begitu pun sebaliknya, jika melebihi kuota, maka wajib membeli kuota emisi perusahaan lain atau dikenakan denda yang besar,” ujar Dadan dalam telekonferensi di acara ‘Sosialisasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 16/ 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik’, baru-baru ini.
Lebih lanjut, Dadan menyampaikan bahwa skema perdagangan karbon itu akan diberlakukan untuk 55 unit PLTU yang berasal dari portofolio PLN, dan sisanya 44 unit pembangkit listrik swasta dengan total kapasitas terpasang sebesar 33.569 megawatt (MW), sementara total kapasitas terpasang PLTU batu bara secara nasional, tercatat mencapai sekitar 39.016 MW.
Adapun tujuan dari kebijakan ini untuk merealisasikan target pemerintah yakni menekan sekitar 500.000 ton emisi karbon melalui skema perdagangan karbon pada tahun ini.
“Target itu merupakan angka progresif terkait dengan upaya percepatan penurunan emisi dari sektor pembangkit listrik, seiring upaya penambahan opsi pembiayaan untuk sektor energi baru terbarukan (EBT),” imbuhnya.
Terkait teknis, Dadan menjelaskan, pemerintah telah menetapkan persetujuan teknis batas atas emisi (PTBAE) gas rumah kaca (GRK) yang masuk ke dalam sistem jaringan PLN, paling ketat di angka 0,911 ton CO2e untuk PLTU non-mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW.
Selain itu, PTBAE diputuskan sebesar 1,011 ton CO2e per MWh untuk PLTU non-mulut tambang, dengan kapasitas terpasang 100 MW sampai dengan 400 MW, dan 1,089 ton CO2e per MWh, untuk PLTU mulut tambang dengan kapasitas lebih besar dari 100 MW. Sementara, PTBAE untuk PLTU non-mulut tambang dengan kapasitas terpasang di rentang 25 MW sampai sama dengan 100 MW, dan PLTU mulut tambang diberikan sebesar 1,297 ton CO2e per MWh. (Hartatik)