Jakarta – Organisasi lingkungan 350.org menyoroti pentingnya Indonesia untuk tetap berpegang pada komitmen iklimnya, meskipun Amerika Serikat telah menarik diri dari Perjanjian Paris. Sisilia Nurmala Dewi, Team Lead 350.org Indonesia, Selasa, 4 Februari, menegaskan bahwa sikap tersebut bertentangan dengan komitmen iklim yang telah disepakati sebelumnya dan dapat berdampak pada stabilitas ekonomi serta lingkungan.
Pernyataan dari pejabat Indonesia yang mempertanyakan relevansi perjanjian ini menimbulkan kekhawatiran akan arah kebijakan lingkungan negara ini.
Dalam beberapa pernyataan terbaru, Utusan Khusus Indonesia untuk perubahan iklim dan energi, Hashim Djojohadikusumo, menyebutkan bahwa Perjanjian Paris “tidak lagi relevan” bagi Indonesia setelah keluarnya AS. Sementara itu, Menteri Energi Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa keputusan AS ini menempatkan transisi energi Indonesia dalam “dilema besar.”
“Pernyataan yang meremehkan Perjanjian Paris ini sangat mengkhawatirkan karena berlawanan dengan bukti ilmiah serta proyeksi ekonomi Indonesia sendiri yang menunjukkan potensi kerugian PDB hingga 40% pada tahun 2050 akibat dampak perubahan iklim,” ujar Sisilia.
Ia juga menyoroti bagaimana ketergantungan pada industri batu bara dan kelapa sawit menjadi faktor yang menghambat transisi energi yang lebih bersih. “Pemerintah seharusnya melihat potensi besar energi terbarukan yang dimiliki Indonesia, bukan mengandalkan bahan bakar fosil yang semakin tidak berkelanjutan,” tambahnya.
Sementara itu, Norly Mercado, Direktur Regional 350.org Asia, menekankan bahwa Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan global dalam isu iklim. “Ketika suhu global terus meningkat dan dampak iklim semakin nyata, Indonesia tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya hanya karena langkah yang diambil AS,” kata Norly.
Sebagai produsen batu bara terbesar ketiga di dunia dan penghasil karbon terbesar ke-7 dari pembakaran bahan bakar, Indonesia memiliki peran penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Ia juga mengingatkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah berkomitmen dalam forum G20 dan COP29 untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dalam 15 tahun serta membangun tambahan 75 GW energi terbarukan.
“Alih-alih melihat transisi energi sebagai dilema, Indonesia harus memanfaatkan posisinya sebagai anggota BRICS untuk menekan negara-negara Barat agar memenuhi komitmen pendanaan transisi energi yang adil. Di dalam negeri, pengalihan subsidi bahan bakar fosil ke investasi energi terbarukan juga bisa menjadi solusi nyata,” jelasnya.
Dengan potensi energi matahari dan angin yang besar, serta semakin terjangkaunya teknologi energi bersih, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai kemandirian energi. Namun, peluang ini hanya bisa terealisasi jika pemerintah berani mengambil langkah progresif dalam kebijakan iklimnya, tanpa terpengaruh oleh dinamika politik negara lain. (Hartatik)