100 hari Prabowo: IESR kritik transisi energi yang belum konkret

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, transisi energi yang menjadi salah satu janji utama pemerintahan masih belum diiringi langkah konkret yang signifikan. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan mencapai 100 hari masa kerja pada 28 Januari 2025.

“Pemerintah telah menunjukkan komitmen melalui berbagai forum internasional, termasuk target net-zero emissions sebelum 2050 dan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada akhir 2025. Namun, rencana dan implementasi untuk mencapai target tersebut belum terlihat jelas,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangan resminya, Rabu, 22 Januari.

Fabby menyoroti bahwa pemerintah masih fokus pada target jangka panjang tanpa disertai langkah taktis yang mendukung percepatan transisi energi. Salah satu masalah yang diangkat adalah lambatnya pembangunan pembangkit listrik berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Dalam pidatonya di forum APEC CEO Summit dan KTT G20 di Brasil, Presiden Prabowo menegaskan Indonesia akan menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dalam 15 tahun ke depan dan beralih sepenuhnya ke energi terbarukan dalam 10 tahun. Namun, hingga kini belum ada regulasi khusus yang diterbitkan untuk mendukung ambisi tersebut.

“Kami mencatat dalam 100 hari ini, belum ada percepatan pembangunan kapasitas EBT yang signifikan. Target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 perlu didukung pembangunan 9 GW kapasitas pembangkit EBT di tahun ini. Tanpa langkah konkret, target itu akan sulit tercapai,” tegas Fabby.

IESR juga menyoroti bahwa kebijakan energi pemerintah masih mempertahankan subsidi untuk energi fosil. Data Kementerian Keuangan menunjukkan anggaran subsidi energi mencapai Rp386,9 triliun pada 2024, yang sebagian besar dialokasikan untuk bahan bakar fosil.

“Subsidi energi fosil menghambat pengembangan energi terbarukan. Pemerintah perlu mulai mengurangi subsidi ini secara bertahap dan mengalihkannya untuk mendukung pengembangan energi bersih,” tambahnya.

Kritik terhadap RUKN 2024

Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 yang diterbitkan November lalu masih memuat target net zero pada 2060, berbeda dari pernyataan Presiden Prabowo yang menargetkan 2050. Selain itu, rencana pembangunan PLTU hingga 2035 juga dinilai bertentangan dengan komitmen menghentikan penggunaan batu bara.

“RUKN 2024 tidak mencerminkan ambisi presiden. Kami mendesak agar rencana ini direvisi untuk menyelaraskan kebijakan dengan target transisi energi yang lebih ambisius,” jelas Fabby.

IESR merekomendasikan pemerintah untuk segera mengambil langkah berikut:

1. Percepatan Pembangunan Infrastruktur EBT: Membangun 9 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan pada 2025 untuk mencapai target bauran energi.

2. Reformasi Subsidi Energi: Mengurangi subsidi energi fosil dan mengalihkan anggaran ke pembiayaan transisi energi.

3. Penghentian PLTU Captive: Menghentikan pembangunan PLTU captive yang hanya memperpanjang ketergantungan pada batu bara.

4. Pendanaan Alternatif untuk Transisi Energi: Menerapkan pungutan sebesar 2,5–5 persen dari nilai ekspor batu bara untuk mendanai pengembangan energi terbarukan.

IESR memperkirakan skema pungutan tersebut dapat menghasilkan pendanaan sebesar USD 1,25–2,5 miliar per tahun, yang dapat dialokasikan untuk investasi pembangkit energi terbarukan.

“Jika pemerintah serius dalam transisi energi, mereka harus berani melawan kepentingan status quo dan mempercepat langkah untuk mewujudkan ketahanan energi berbasis keberlanjutan,” kata Fabby.

Potensi risiko biodiesel

Fabby juga menyoroti pengembangan biodiesel yang berpotensi memicu deforestasi akibat meningkatnya permintaan minyak sawit. IESR mendorong diversifikasi bahan baku biodiesel dan penerapan standar keberlanjutan seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

“Produksi biodiesel harus memperhatikan keberlanjutan, termasuk melindungi ekosistem dan memastikan hak masyarakat lokal,” tegasnya.

Dalam 100 hari ke depan, IESR berharap pemerintahan Prabowo-Gibran dapat lebih fokus pada implementasi kebijakan yang konkret untuk transisi energi.

“Keberanian untuk melawan kepentingan energi fosil dan mendorong energi bersih akan menentukan keberhasilan Indonesia dalam mencapai kemandirian energi dan net zero emisi,” kata Fabby. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles