Jakarta – Konferensi iklim COP28 tahun 2023 menandai pelaksanaan inventarisasi global yang pertama, sebuah evaluasi komprehensif atas upaya-upaya di seluruh dunia terhadap tolok ukur yang telah ditetapkan oleh Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tahun 1992 dan Persetujuan Paris tahun 2015, demikian ungkap seorang peneliti.
Dalam sebuah makalah opini yang diterbitkan di PLOS Climate Journal, Prof. Paul G. Harris dari Education University of Hong Kong (EdUHK) menganalisis kemajuan dan tantangan yang muncul dari COP28.
Ditujukan untuk membatasi pemanasan global hingga “jauh di bawah” 2°C, lebih baik lagi hingga 1,5°C, kajian ini mengungkap kenyataan pahit mengenai kurangnya langkah komunitas internasional dalam menghentikan krisis iklim yang semakin parah.
Tahun lalu memecahkan rekor sebagai tahun terpanas, yang ditandai dengan kejadian cuaca ekstrem, pencairan es yang signifikan, dan lonjakan permukaan air laut. Tingkat karbon dioksida melonjak melewati 418 bagian per juta pada tahun 2022, peningkatan yang mencolok dari tingkat tahun 1992 dan lebih dari 50 persen lebih tinggi dari angka pra-industri, yang menandakan perlunya tindakan segera karena planet ini semakin mendekati titik kritis lingkungan yang tidak dapat dipulihkan.
Beragam hasil COP28
Meskipun mengakui adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pengurangan emisi secara drastis guna mencegah pelampauan ambang batas pemanasan 1,5°C, kesepakatan COP28 tidak memberikan mandat untuk melakukan aksi global yang konkret. Sebaliknya, kesepakatan tersebut menyerahkan tanggung jawab kepada masing-masing negara, melanggengkan siklus komitmen nasional yang tidak memadai, demikian analisis Harris.
Konferensi ini membuat langkah penting dalam menangani kebutuhan negara-negara yang rentan terhadap iklim melalui operasionalisasi formal Dana Kerugian dan Kerusakan (LDF), meskipun jumlah yang dijanjikan sebesar USD 700 juta masih sangat kecil jika dibandingkan dengan perkiraan kebutuhan tahunan sebesar USD 600 miliar pada tahun 2030. Perbedaan ini menyoroti tantangan monumental dalam meningkatkan dukungan keuangan untuk negara-negara yang terkena dampak iklim.
COP28 menyerukan transisi dari bahan bakar fosil tanpa secara eksplisit mengadvokasi penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara menyeluruh, sehingga memicu perdebatan mengenai efektivitas dan interpretasi sikap tersebut. Fokus yang terbatas pada batu bara dan tidak adanya penyebutan khusus tentang minyak dan gas dalam perjanjian tersebut menggarisbawahi keengganan yang sedang berlangsung untuk menghadapi pendorong utama perubahan iklim secara langsung.
Hasil dari COP28, meskipun menunjukkan beberapa kemajuan, pada akhirnya mencerminkan keterbatasan diplomasi iklim internasional. Tantangan historis dalam mencapai konsensus mengenai isu-isu global, seperti resolusi konflik dan penanganan pandemi, sejalan dengan perjuangan dalam negosiasi iklim. Kepentingan yang mengakar dari negara-negara berdaulat sering kali membayangi kebutuhan kolektif akan aksi iklim yang ambisius, sehingga menggarisbawahi kendala yang melekat pada proses COP.
Terlepas dari kemajuan yang dicapai, COP28 menggarisbawahi titik kritis dalam perjuangan melawan perubahan iklim, yang menandakan “awal dari akhir” era bahan bakar fosil. Namun, deklarasi ini juga disertai dengan pengakuan bahwa jalan ke depan membutuhkan lebih dari sekadar perjanjian diplomatik-ini menuntut kerja sama global yang belum pernah terjadi sebelumnya, tindakan transformatif, dan kesediaan untuk memprioritaskan masa depan planet ini di atas kepentingan nasional yang mendesak.
Harris menyimpulkan bahwa pesan tersebut terbukti ketika dunia merefleksikan hasil-hasil COP28. Meskipun diplomasi dapat memfasilitasi dialog dan menumbuhkan komitmen, menerjemahkan janji ini menjadi tindakan nyata dan berdampak adalah ujiannya. Perjuangan melawan perubahan iklim adalah perlombaan melawan waktu yang membutuhkan semua pihak untuk mencegah dampak yang paling dahsyat dan mengamankan masa depan yang berkelanjutan bagi generasi yang akan datang. (nsh)