Jakarta — Pada peringatan ke-80 Hari Kemerdekaan Indonesia, koalisi organisasi masyarakat sipil dalam pernyataan pada Minggu, 17 Agustus, mendesak parlemen untuk merevisi Undang-Undang Kehutanan Tahun 1999 (UU Kehutanan), dengan alasan undang-undang tersebut mempertahankan sistem penguasaan tanah era kolonial dan gagal melindungi hak-hak warga negara.
Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan mengkritik proses tertutup dalam merevisi undang-undang, dengan mencatat bahwa sebagian besar konsultasi telah mengesampingkan partisipasi publik. Arif Adi Putro dari Pusat Parlemen Indonesia mengatakan bahwa dua dari tiga pembahasan dilakukan secara tertutup tanpa dokumentasi publik. “Proses legislatif jauh dari transparan,” katanya, menambahkan bahwa proses tersebut bahkan tidak dibagikan di kanal YouTube parlemen.
Koalisi memperingatkan bahwa kerangka kerja saat ini berisiko merampas tanah, hutan, dan tempat tinggal masyarakat adat dan komunitas lokal, yang seringkali secara sepihak diklaim sebagai kawasan hutan negara. Rendi Oman Gara dari Perkumpulan HuMa berargumen bahwa undang-undang tersebut memperkuat pola pikir kolonial yang memperlakukan negara sebagai “super landlord”, mirip dengan kebijakan era Belanda yang menolak hak tanah adat.
Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa 65,26% wilayah daratan dan perairan Indonesia ditetapkan sebagai hutan negara, seringkali tanpa prosedur yang transparan. Antara tahun 2017 dan 2023, deforestasi rata-rata mencapai 2 juta hektar per tahun, dengan kerugian tambahan tercatat pada tahun 2024, disertai dengan kebakaran hutan dan lahan gambut yang merusak.
Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menekankan bahwa alih-alih membebaskan warga, undang-undang tersebut justru telah mengucilkan mereka dari sumber penghidupan utama mereka. Aktivis dari MADANI dan HuMa menambahkan bahwa pengawasan yang lemah telah memperparah kerusakan lingkungan dan konflik agraria.
Menandai Hari Kemerdekaan, koalisi menyerukan pembaruan menyeluruh terhadap undang-undang kehutanan untuk menjamin keadilan agraria dan ekologi, mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta memastikan partisipasi publik yang berarti dalam penyusunan undang-undang baru. (nsh)
Foto banner: Alexandre Laprise/Shutterstock