Jakarta – Indonesia Climate Justice Literacy (ICJL) mempertanyakan narasi pemerintah akan “pemerataan ekonomi” dan “pemberdayaan masyarakat” sebagai alasan pemberian izin koperasi dan organisasi masyarakat (ormas) untuk mengelola tambang mineral dan batu bara hingga 2.500 hektare.
Bagi ICJL, langkah ini bukan sekadar kebijakan ekonomi — tetapi strategi normalisasi kebijakan perusak lingkungan yang dikemas dengan retorika kesejahteraan rakyat. “Narasi pemerataan ekonomi ini hanyalah kedok. Pemerintah sedang mencoba membuat publik terbiasa dengan kebijakan yang justru memperparah krisis ekologi,” ujar Firdaus Cahyadi, pendiri ICJL, dalam pernyataannya, Jumat, 10 Oktober.
Kritik tajam itu merespons terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara — regulasi yang memperluas izin tambang bagi koperasi dan ormas hingga 2.500 hektare.
Bagi pemerintah, kebijakan ini disebut-sebut sebagai langkah konkret mendukung pemerataan ekonomi daerah dan penguatan ekonomi kerakyatan. Namun bagi pegiat lingkungan, logika ini justru berbahaya.
“Sektor pertambangan, siapa pun yang mengelolanya, tetap berisiko tinggi terhadap lingkungan,” tegas Firdaus.
“Jangan terkecoh dengan istilah ‘koperasi rakyat’. Luasan 2.500 hektare itu bukan kecil — itu cukup untuk menghapus tutupan hutan, mencemari air, dan memusnahkan keanekaragaman hayati.”
Menurut ICJL, kebijakan tersebut menunjukkan cara pandang yang keliru: menganggap tambang bisa menjadi alat pemerataan. Padahal, sejarah panjang industri ekstraktif di Indonesia justru memperlihatkan sebaliknya — ketimpangan ekonomi dan kerusakan ekologis selalu berjalan beriringan.
Dari kapasitas hingga konflik sosial
ICJL menyoroti tiga risiko utama dari kebijakan tambang berbasis koperasi dan Ormas ini. Pertama kapasitas lingkungan yang lemah. Menurut Firdaus, pengelolaan area tambang sebesar itu memerlukan keahlian teknis, finansial, dan sistem pengawasan yang kompleks. Koperasi dan Ormas, dalam banyak kasus, tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi standar reklamasi pascatambang, pengelolaan air asam, maupun limbah B3.
“Jika izin ini diberikan tanpa kesiapan teknis dan finansial, risiko pencemaran permanen menjadi sangat tinggi,” katanya.
Kedua potensi konflik agrarian. Kekhawatiran kedua menyangkut alih fungsi lahan dan konflik sosial. Dengan skema prioritas tanpa tender, banyak wilayah potensial tambang beririsan dengan kawasan konservasi, tanah adat, atau lahan produktif pertanian.
“Ini membuka pintu bagi tumpang tindih lahan, perebutan sumber daya, dan konflik horizontal di akar rumput,” ujar Firdaus. “Alih-alih memberdayakan rakyat, kebijakan ini justru bisa menggusur mereka dari ruang hidupnya.”
Ketiga celah pengawasan dan potensi bencana. Risiko ketiga adalah pengawasan yang semakin lemah. Banyaknya entitas kecil berizin justru berpotensi membuat sistem kontrol pemerintah terfragmentasi. “Ketika izin diberikan secara masif dan tersebar, pengawasan jadi tidak efektif. Di sinilah penambangan ilegal bisa bersembunyi di balik legalitas formal,” jelas Firdaus.
ICJL menilai, akumulasi dampak ekologis dari banyak tambang kecil jauh lebih berbahaya dibandingkan operasi satu perusahaan besar yang memiliki kewajiban Amdal ketat dan publikasi data yang terbuka.
ICJL mendesak pemerintah untuk meninjau ulang PP No. 39/2025 dan memastikan seluruh kebijakan ekonomi tidak bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. “Kalau pemerintah sungguh ingin memberdayakan rakyat, berikan akses pada sektor-sektor yang memperkuat ketahanan ekologi — bukan yang menghancurkannya,” kata Firdaus. (Hartatik)
Foto banner: Burley Packwood/Wikimedia Commons


