Bagaimana hakim di Indonesia membentuk perjuangan melawan polusi

oleh: Syahriza Alkohir Anggoro*

Pada tahun 2022, Majelis Lingkungan PBB mengadopsi resolusi baru yang menjadi landasan awal menuju perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk mengakhiri polusi plastik. Perjanjian tersebut akan mencakup target-target ambisius yang mencakup seluruh tahap siklus hidup plastik, termasuk pengenalan langkah-langkah pembatasan terhadap produksi dan konsumsi plastik sekali pakai, pengembangan kerangka kerja untuk rencana aksi nasional yang terkoordinasi, serta kerja sama regional dan internasional. Meskipun kemajuan perjanjian ini masih harus dilihat, sejak awal, kunci keberhasilannya jelas bergantung pada keterlibatan semua pihak.

Apa peran yang dapat dimainkan oleh pengadilan? Seperti yang telah didokumentasikan dengan baik oleh Plastic Litigation Tracker, dalam beberapa tahun terakhir telah banyak kisah sukses dari tindakan hukum terkait limbah plastik di negara-negara Global Utara dan Global Selatan. Gugatan-gugatan ini dapat berupa gugatan warga atau gugatan class action di berbagai jenis pengadilan, biasanya menargetkan pemerintah atau produsen. Di masa depan, diperkirakan akan ada lebih banyak gugatan seiring dengan terus terungkapnya konsekuensi negatif polusi plastik terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.

 

Sampah plastik menumpuk di hutan mangrove Jakarta Utara. 2014. nsh/tanahair.net

Plastik di ruang sidang

Negara-negara di Global Selatan seperti Indonesia termasuk di antara kontributor utama limbah plastik di dunia, oleh karena itu pengadilan di sini dapat memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan yudisial berkontribusi dalam mengatasi krisis Antroposen ini.

Kasus-kasus litigasi limbah plastik yang muncul di Indonesia menunjukkan keterlibatan pengadilan dalam beberapa cara. Pertama, litigasi dapat timbul atas inisiatif asosiasi industri untuk menggagalkan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Seperti yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan kampanye advokasi Diet Kantong Plastik, hingga tahun 2025, terdapat lebih dari 100 wilayah di Indonesia yang memiliki peraturan tentang pembatasan atau larangan penggunaan plastik sekali pakai dalam berbagai tingkat. Di antara yang paling menonjol, misalnya, adalah peraturan larangan penggunaan plastik sekali pakai dan pembatasan penggunaan kantong plastik di Provinsi Bali dan Kota Bogor. Selain alasan lingkungan, kebijakan ini juga secara ekonomi diperlukan, mengingat profil masing-masing wilayah tersebut sebagai destinasi wisata nasional dan internasional yang sangat bergantung pada lingkungan bebas plastik.

Pada tahun 2019, dua asosiasi industri dan beberapa individu yang tidak puas mengajukan gugatan hukum terhadap peraturan tersebut di Mahkamah Agung. Mereka mengklaim bahwa peraturan tersebut dibuat secara sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum nasional yang jelas. Para penggugat juga mengklaim bahwa peraturan tersebut berpotensi melanggar hak ekonomi mereka. Hal ini, pada gilirannya, berdampak pada iklim investasi serta pertumbuhan ekonomi regional. Bagi para penggugat, masalah utama tidak terletak pada bahan plastik itu sendiri, melainkan pada pengelolaan limbah yang buruk dan kesadaran lingkungan masyarakat yang rendah.

Namun, Mahkamah Agung menolak argumen para penggugat dalam kedua kasus tersebut, dengan menyatakan bahwa peraturan tersebut bertujuan untuk memastikan pemenuhan hak asasi manusia atas lingkungan yang baik dan sehat. Hal ini berarti Mahkamah Agung telah mengakui kausalitas keberlanjutan lingkungan sebagai prasyarat untuk pemenuhan hak asasi manusia. Mahkamah Agung juga menekankan bahwa regulasi terhadap plastik sekali pakai sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi pemerintahan. Dengan kata lain, meskipun pemerintah pusat sendiri baru akan memberlakukan larangan nasional terhadap plastik sekali pakai pada 1 Januari 2030, inisiatif yang lebih agresif di tingkat lokal yang sudah ada sebelumnya secara hukum sah hanya karena kewajiban pemerintah daerah untuk menjaga integritas lingkungan di wilayah yurisdiksinya.

Cara kedua di mana gugatan hukum terkait limbah plastik muncul dapat ditemukan dalam gugatan perdata terhadap negara atas kelalaian. Dalam gugatan warga terhadap Kota Pekanbaru, penggugat memenangkan kasus dengan argumen bahwa pemerintah daerah gagal menangani limbah plastik. Penggugat berargumen bahwa Kota Pekanbaru telah melakukan tindakan ilegal dengan membiarkan pembuangan limbah secara terbuka, tidak menerapkan pengurangan limbah, tidak mengalokasikan anggaran untuk pengelolaan limbah, dan tidak membangun kapasitas penyimpanan sementara yang cukup berdasarkan prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle). Akibatnya, kelalaian pemerintah daerah telah menyebabkan banjir, bau tidak sedap di kawasan permukiman, dan kerugian lain yang berdampak pada pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang.

Pengadilan Negeri Pekanbaru mengabulkan seluruh permohonan penggugat dengan memerintahkan tergugat untuk menerapkan kebijakan pengelolaan sampah, mengembangkan infrastruktur dan fasilitas, mendirikan bank sampah, serta menyertakan upaya penyuluhan kepada masyarakat. Yang paling penting, pengadilan juga mengambil langkah lebih lanjut dengan memerintahkan pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan mengenai pembatasan penggunaan plastik sekali pakai yang ditujukan kepada supermarket dan toko ritel modern.

Putusan ini merupakan preseden revolusioner, mengingat undang-undang nasional saat ini tidak mewajibkan pembatasan atau larangan sebagai perintah yang mengikat secara nasional. Hal ini berarti pengadilan mendorong pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dengan menerapkan standar hukum yang lebih ketat, melampaui “pendekatan setengah hati” yang telah diambil oleh pemerintah pusat dalam menangani polusi plastik sekali pakai.

Akhirnya, gugatan hukum terkait limbah plastik dapat menjadi bagian dari strategi advokasi gerakan lingkungan. Seperti di kota-kota lain di Indonesia, aktivisme anti-plastik di Bali telah berkembang pesat melalui berbagai program, seperti kampanye, penyusunan petisi kepada otoritas negara, dan pelaksanaan audit limbah untuk mengidentifikasi merek kemasan produk yang mencemari pantai dan sungai. Pada tahun 2023, Yayasan Pemerhati Lingkungan dan Hutan Indonesia, sebuah yayasan nirlaba, mengajukan gugatan class action di Pengadilan Negeri Denpasar terhadap produsen air kemasan Danone Indonesia sebagai tergugat, dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Provinsi Bali sebagai tergugat bersama.

Penggugat menuduh Danone Indonesia telah melakukan tindakan ilegal karena tidak melaksanakan program tanggung jawab produsen yang diperluas yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75/2019. Terhadap para tergugat lainnya, penggugat berargumen bahwa mereka gagal memanfaatkan wewenang, tugas, dan tanggung jawab pengawasan yang diberikan oleh undang-undang terhadap pencemar. Mereka juga menyatakan bahwa pemerintah provinsi Bali belum memaksimalkan implementasi larangan penggunaan plastik sekali pakai, sehingga menyebabkan terus terjadinya kebocoran limbah plastik dari darat ke lingkungan laut.

Dalam persidangan ini, penggugat meminta produsen untuk menjalankan bisnis secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan potensi pembentukan limbah plastik dari setiap siklus hidup produk. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dengan mengurangi penggunaan botol plastik sebagai kemasan produk dan berinvestasi dalam teknologi kemasan alternatif. Untuk memperkuat argumen ini, Yayasan Pemerhati Lingkungan dan Hutan Indonesia menggunakan bukti dari penelitian kelompok pemantau sungai Sungai Watch mengenai kondisi sungai-sungai di Bali yang tercemar oleh botol plastik Danone Indonesia. Hal ini, kata mereka, berpotensi mengganggu upaya Indonesia untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.

Sayangnya, panel hakim di Pengadilan Negeri Denpasar menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima dengan alasan penggugat tidak memiliki kedudukan hukum. Secara prosedural, klaim penggugat sebagai organisasi yang mewakili kepentingan lingkungan tidak berdasar karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Meskipun laporan Sungai Watch juga menyebutkan perusahaan-perusahaan pencemar lainnya, gugatan tersebut tampaknya salah sasaran (error in persona), karena hanya ditujukan kepada Danone Indonesia, dan karenanya dianggap “tidak memiliki pihak yang tepat” (plurium litis consortium) atau secara formal cacat. Tergugat juga menegaskan bahwa Danone Indonesia, sebagai badan hukum, telah berada dalam proses likuidasi sejak 2022, dan oleh karena itu, permintaan yang diajukan oleh penggugat berpotensi tidak dapat ditegakkan jika dikabulkan oleh pengadilan.

Meskipun alasan para hakim secara hukum dapat dibenarkan, penolakan pengadilan merupakan kemunduran bagi gerakan anti-plastik. Dalam kasus ini, pengadilan jelas tidak mempertimbangkan substansi permohonan: meskipun ada bukti yang meyakinkan bahwa aktivis lingkungan di Bali — dan memang di seluruh Indonesia — telah lama dan secara rutin melakukan audit limbah dengan temuan yang konsisten. Sementara itu, di Belahan Utara, perusahaan induk Danone menghadapi gugatan serupa, termasuk di kantor pusatnya di Prancis, dengan alasan bahwa perusahaan tersebut gagal memenuhi kewajiban hukumnya terkait polusi plastik.

Di masa depan, gerakan anti-plastik di Indonesia mungkin perlu menyesuaikan diri dengan kecenderungan hukum yang kaku dari pengadilan untuk meningkatkan keberhasilan strategi litigasi. Hal ini juga perlu didukung oleh argumen yang lebih kokoh, didasarkan pada ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia, mengenai hambatan potensial yang ditimbulkan oleh polusi plastik terhadap pemenuhan hak asasi manusia dan dampaknya terhadap lingkungan serta semua spesies non-manusia di planet kita.

Bagaimana seharusnya pengadilan bertindak?

Kasus-kasus yang telah ditangani oleh pengadilan Indonesia sejauh ini dapat memberikan pelajaran tentang bagaimana kekuasaan yudisial mengembangkan kepekaan hukum terhadap kompleksitas ancaman yang ditimbulkan oleh polusi plastik. Meskipun hasil akhirnya bervariasi, pengadilan dapat terlibat dalam perjuangan ini: memberi tahu otoritas pemerintah apa yang seharusnya mereka lakukan, atau menghukum produsen atau pemerintah yang tidak memenuhi kewajiban mereka. Ketika negara sendiri mengabaikan kewajibannya dalam pencegahan dan mitigasi polusi plastik, atau sebaliknya, ketika korporasi mengekspresikan ketidakpuasan terhadap kebijakan tertentu yang menghambat kepentingan bisnis mereka, aktivis mengalihkan taktik perjuangan mereka melalui saluran hukum, menjadikan ruang sidang sebagai forum pertempuran kunci untuk mempertahankan kepentingan publik dan lingkungan. Hakim mungkin harus melampaui batasan hukum untuk memprioritaskan kepentingan lingkungan, memastikan hak asasi manusia atas lingkungan yang baik dan sehat terpenuhi, serta membantu mempertahankan inisiatif progresif yang ada dari serangan hukum oleh perusahaan plastik.

Dengan harapan tinggi terhadap ratifikasi perjanjian plastik global tahun ini, di mana Indonesia juga tampaknya cukup aktif dalam negosiasi, gugatan hukum terkait limbah plastik mungkin akan muncul secara lebih massif dan melibatkan berbagai pihak. Mengingat kompleksitas ancaman polusi plastik, dapat dikatakan bahwa gugatan hukum kemungkinan besar akan didasarkan pada klaim yang saling terkait (seperti perubahan iklim, bahan kimia berbahaya dalam bahan plastik, dan lainnya). Meskipun penilaian ini optimis, perlu dicatat bahwa pengadilan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain di Global Selatan dan Global Utara, juga memiliki kewajiban erga omnes (“terhadap semua”) untuk melindungi ekosistem planet kita bagi generasi sekarang dan mendatang, dan karenanya, harus terlibat dalam upaya apa pun untuk mengakhiri polusi plastik.

*Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Indonesia, di mana ia mengajar hukum konstitusi dan hukum lingkungan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Mongabay.com pada 30 September 2025, dengan judul: Can courts combat plastic pollution? Lessons from Indonesia (commentary)

Foto banner: Gambar banner: Seorang pekerja kebersihan mengumpulkan sampah rumah tangga. 6 April 2021. nsh/tanahair.net

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles