Ancaman alih fungsi lahan masih membayangi kawasan mangrove, walau aturan hukum telah disahkan

Semarang – Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Aturan ini dinilai sebagai tonggak penting dalam upaya menjaga hutan mangrove yang kian terdesak oleh ekspansi industri, pemukiman, hingga tambak.

Namun, pakar kelautan menilai regulasi saja tidak cukup. Alih fungsi lahan masih menjadi tantangan utama dalam perlindungan mangrove, yang kerap kali terjadi akibat lemahnya pengawasan di lapangan dan tumpang tindih tata ruang.

“Mangrove bukan hanya soal lingkungan, tapi juga menyangkut kesejahteraan masyarakat pesisir dan kontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim,” ujar Denny Nugroho Sugianto, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Rabu, 23 Juli.

Denny, yang juga Ketua SDGs Center Undip, menilai regulasi ini lahir dari proses panjang yang melibatkan riset ilmiah, kajian spasial, hingga konsultasi publik. Ia menggarisbawahi bahwa penyusunan PP ini menggunakan pendekatan lanskap dari hulu ke hilir, serta mengedepankan kolaborasi antara negara, masyarakat adat, dunia usaha, dan akademisi.

PP 27/2025 menetapkan bahwa pengelolaan mangrove mencakup aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian kerusakan, pemeliharaan, serta pengawasan dan sanksi administratif. Peran masyarakat dinyatakan sebagai bagian sentral dalam implementasi, termasuk pemberdayaan dan insentif.

Indonesia saat ini memiliki sekitar 3,3 juta hektare hutan mangrove atau 22,4 persen dari total mangrove dunia. Dalam konteks mitigasi iklim, hutan mangrove di Indonesia mampu menyerap rata-rata 52,85 ton CO₂ per hektare per tahun, dengan potensi nasional mencapai 170 juta ton CO₂ per tahun.

“Ketika mangrove hilang, karbon yang tersimpan lepas ke atmosfer. Artinya, menjaga mangrove juga berarti mencegah emisi besar-besaran,” kata Denny.

Meski demikian, alih fungsi lahan di kawasan pesisir disebutnya sebagai persoalan krusial yang bisa menghambat efektivitas regulasi. Di sejumlah daerah, praktik perusakan mangrove masih terus terjadi, baik untuk kepentingan tambak, pariwisata, maupun proyek properti.

“PP ini memberi arah yang jelas, tetapi implementasinya akan sangat bergantung pada pengawasan daerah dan komitmen lintas sektor,” tegasnya.

Ia berharap PP 27/2025 bukan sekadar dokumen hukum, melainkan dijalankan secara konsisten untuk memastikan keberlanjutan ekosistem mangrove sekaligus mengangkat kesejahteraan masyarakat pesisir. (Hartatik)

Foto banner: Khun Ta/shutterstock.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles