Jakarta – Negara G20 bertanggung jawab terhadap 85% emisi gas rumah kaca (GRK) dunia sehingga harus mengambil peran lebih besar dalam memangkas emisi tersebut secara drastis, menurut laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR).
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam rilis laporan Climate Transparency Report 2022 dan Webinar “Menuju G20 Summit: Sudah Tepatkah Aksi Iklim G20?”, Rabu (9/11), mengatakan “hingga kini belum ada satu negara G20 yang memenuhi target, termasuk Indonesia yang menjadi presiden G20.” Menurut IPCC, secara global, negara-negara di dunia harus memangkas sekitar 45% emisi GRK di level 2010 pada 2030.
Menurut Fabby, negara G20 perlu mempercepat transisi energi dengan berpindah dari energi fosil karena harganya mahal, polutif dan membahayakan. Presiden Jokowi pun diminta lebih ambisius mengingatkan negara G20 untuk melakukan transisi energi.
“Kuncinya segera mengurangi PLTU batubara dan merencanakan phaseout PLTU sebelum 2040. Lalu mempercepat peningkatan energi terbarukan untuk mengganti energi fosil dan mendorong efisiensi energi,” imbuhnya.
Selanjutnya, Fabby menyinggung subsidi fosil yang setiap tahun semakin meningkat dan menghambat perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi. Ia berharap pada KTT G20, Presiden Jokowi dapat mengajak negara G20 secara kolektif untuk mengambil sikap memangkas subsidi energi fosil.
Indonesia tidak mengalami gejolak harga listrik seperti di Eropa dan Inggris, karena harga gas yang mahal. Begitu pun, Indonesia relatif terkendali karena harga listrik dan energi disubsidi. Tahun ini saja menurut Kementerian Keuangan, subsidi energi meningkat sampai Rp 650 triliun. Tahun depan direncanakan dalam RAPBN, subsidi energi mencapai Rp 350 triliun.
“Di tengah kita berusaha memangkas emisi gas rumah kaca, tapi melalui subsidi energi fosil kita justru memberikan insentif dengan menggunakan energi fosil terus menerus dan menghambat perkembangan energi baru terbarukan, maupun upaya melakukan efisiensi energi,” beber Fabby.
Hal senada diungkapkan Farah Vianda, Program Officer Ekonomi Hijau IESR. Menurutnya, komitmen pemerintah untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan memulai transisi ke energi ramah lingkungan, sesuai deklarasi ‘Transisi Energi Listrik Global Ke Energi Bersih’ pada COP26 lalu, perlu segera diwujudkan. Apalagi Climate Transparency 2022 mengungkapkan proses transisi energi harus berlangsung secara berkeadilan, salah satunya dengan mengakomodasi kepentingan sekitar 100.000 orang yang bekerja di industri batubara.
“Pemerintah Indonesia perlu memfasilitasi transisi yang adil bagi pekerja sektor pertambangan batubara dan memastikan sumber pertumbuhan ekonomi alternatif di daerah yang bergantung terhadap energi fosil,” kata Farah.
Laporan Climate Transparency 2022 menunjukkan dominasi 81% energi fosil pada sistem energi di Indonesia, dan 62% sumber pembangkitan listrik berasal dari batubara, membuat sektor energi masih menjadi penyumbang terbesar emisi GRK (43%), diikuti sektor transportasi (25%) di urutan kedua pada 2021.
Selain itu, intensitas emisi Indonesia di sektor energi mengalami peningkatan sepanjang kurun waktu 2016-2021 sebesar 5,5% menjadi 784,8 gCO2/kWh. Jumlah ini lebih besar dibandingkan rata-rata emisi di sektor energi negara G20 pada kurun waktu yang sama yang mengalami penurunan 8,1% menjadi sebesar 444,7 kWh. Hal ini ditengarai dengan aktivitas ekonomi yang kembali pesat pasca pandemi. (Hartatik)