Jakarta — Target ambisius Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 100 persen bauran energi dari sumber terbarukan (EBT) pada 2035 menurut kajian terbaru Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), membutuhkan pembiayaan mencapai Rp 819,6 triliun.
“Peluang pembiayaan ini nyata. Kita punya ruang fiskal dari sektor batu bara dan juga potensi investasi bilateral yang besar, khususnya dari Tiongkok,” kata Tata Mustasya, perwakilan SUSTAIN, Senin, 14 Juli.
Menurut perhitungan SUSTAIN, pungutan tambahan atas produksi batu bara bisa menyumbang dana hingga Rp 675,6 triliun untuk pembiayaan transisi energi selama 2025–2034. Angka ini diperoleh dari simulasi beberapa skenario tarif, termasuk pungutan berbasis volume dan harga pasar global batu bara.
“Jika pemerintah berani menerapkan pungutan progresif, sejalan dengan prinsip keadilan energi dan peralihan ke ekonomi hijau, maka kontribusi fiskal sektor batu bara bisa menjadi mesin pendanaan utama pembangunan EBT,” ujar Tata.
Sumber kedua berasal dari investasi bilateral, terutama melalui skema Belt and Road Initiative (BRI) yang didorong oleh Tiongkok. Indonesia selama ini tercatat sebagai penerima manfaat terbesar BRI di Asia Tenggara, terutama untuk sektor energi dan infrastruktur.
“Kami memperkirakan potensi pendanaan dari mitra Tiongkok dalam proyek energi bersih bisa mencapai Rp 144 triliun selama satu dekade ke depan,” ungkap Tata.
Target EBT 2035 dan NZE 2050 lebih dekat
Komitmen 100 persen EBT pada 2035 dan net zero emission (NZE) pada 2050 telah disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo dalam sejumlah forum internasional, termasuk kunjungan kenegaraan ke Brasil dan pertemuan G20.
Dalam forum tersebut, Prabowo juga menyebutkan target penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 75 Gigawatt (GW), seiring dengan revisi rencana energi nasional yang kini tengah disiapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Namun, menurut SUSTAIN, pernyataan politik itu harus segera diterjemahkan menjadi kebijakan konkret lintas sektor.
“Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan harus bersinergi. Kebijakan fiskal dan energi perlu disusun dengan landasan transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Tidak cukup hanya niat, harus ada peta jalan yang firm, insentif untuk sektor swasta, serta perlindungan sosial bagi masyarakat yang terdampak peralihan energi,” tegas Tata.
Kajian SUSTAIN juga menyoroti perlunya Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 dirombak secara menyeluruh agar lebih ramah lingkungan. Saat ini, komposisi energi terbarukan dalam bauran listrik nasional masih di bawah 15 persen — jauh dari target 100 persen yang dicanangkan Prabowo.
“RUPTL selama ini terlalu konservatif terhadap EBT. Pemerintah perlu memanfaatkan momentum ini untuk benar-benar membalikkan arah kebijakan. Tanpa reformasi RUPTL, target EBT 2035 hanya akan jadi janji politik belaka,” pungkas Tata. (Hartatik)
Foto banner: FotoIdee/shutterstock.com