Satu dekade setelah Paris, Indonesia masih bingung arah transisi energi dan kebijakan iklimnya

Jakarta – Para pengamat mengatakan Indonesia masih belum mengumumkan arah kebijakan transisi energi secara jelas. Menurut mereka, satu dekade setelah menandatangani Paris Agreement, Indonesia dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, justru tertinggal — baik dalam aksi, strategi, maupun komitmen formal.

“Ini bukan sekadar soal keterlambatan administratif. Kegagalan menyerahkan SNDC (Second Nationally Determined Contribution) tepat waktu mencerminkan kebingungan arah dalam kebijakan mitigasi iklim nasional,” tegas Agung Budiono, Direktur Eksekutif CERAH Indonesia, dalam keterangan tertulis, Kamis, 9 Oktober.

Tenggat waktu bagi negara-negara untuk menyerahkan SNDC ke Sekretariat PBB adalah 30 September 2025. Namun hingga hari itu, Indonesia belum mengirimkan dokumen barunya. Sebuah sinyal yang, menurut banyak pihak, mencederai kredibilitas negeri ini di mata komunitas global.

Agung menilai, lambannya penyusunan dokumen itu memperlihatkan kontradiksi antara retorika dan realitas. Sementara pemerintah terus berbicara tentang transisi energi dan net zero emission, di sisi lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) justru masih membuka ruang ekspansi energi fosil hingga 2060.

“Kalau rencana energi nasionalnya masih memberi ruang besar bagi batu bara, bagaimana dunia bisa percaya pada komitmen iklim kita?” ujar Agung.

Ambisi iklim yang macet di atas kertas

Setelah meratifikasi Paris Agreement pada 2016, pemerintah sempat menaikkan target penurunan emisi dalam NDC yang diperbarui sebesar 31,89 persen secara mandiri, dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Target net-zero pun dicanangkan “paling lambat” tahun 2060.

Beragam kebijakan pun telah digulirkan — mulai dari Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (LTS-LCCR 2050), program FOLU Net Sink 2030, hingga peta jalan transisi energi nasional.

Namun di lapangan, upaya tersebut terjebak dalam paradoks besar lantaran Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil, terutama batu bara. Hingga 2025, lebih dari 60 persen pasokan listrik nasional masih bersumber dari PLTU batu bara.

“Selama kebijakan energi nasional masih menempatkan batu bara sebagai tulang punggung ekonomi, upaya dekarbonisasi hanya akan menjadi slogan,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam pernyataannya.

Nadia mendesak pemerintah segera mempublikasikan SNDC sebelum Konferensi Iklim PBB (COP30) yang digelar di Belem, Brasil, akhir tahun ini.

“SNDC bukan hanya dokumen formal, tapi cermin arah pembangunan Indonesia — apakah kita betul-betul menuju masa depan yang berkeadilan iklim, atau tidak,” ujarnya.

Keterlambatan Indonesia menyusun SNDC bukan hanya soal birokrasi, tetapi cerminan dilema yang lebih dalam karena ketergantungan ekonomi pada bahan bakar fosil.

Industri batu bara masih menjadi penyumbang devisa besar dan lapangan kerja di banyak daerah. Pemerintah pun masih menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang membuat harga batu bara untuk PLN tetap murah.

Di satu sisi, kebijakan ini menjaga tarif listrik tetap rendah. Tapi di sisi lain, menyumbat arus investasi energi terbarukan. Biaya listrik dari energi surya dan angin tampak lebih mahal hanya karena batu bara disubsidi.

Laporan Deep Decarbonization Pathways (DDP) bertajuk “A Decade of National Climate Action: Stocktake and the Road Ahead”* mengonfirmasi hal itu. Menurut Henri Waisma, Direktur DDP Initiative, Indonesia termasuk negara yang masih gagal menerjemahkan strategi jangka panjang menjadi kebijakan konkret lintas sektor.

“Negara-negara lain sudah mulai merombak tata kelola dan mempercepat transformasi teknologi. Tapi Indonesia masih tertahan di fase wacana,” ujar Henri.

Ironisnya, potensi ekonomi hijau di Indonesia justru sangat besar. Laporan DDP memperkirakan, jika strategi transisi energi berjalan konsisten, sektor hijau bisa menciptakan hingga 1,8 juta lapangan kerja baru pada 2030 — terutama di bidang energi terbarukan, transportasi bersih, dan industri sumber daya berkelanjutan.

Namun peluang itu hanya bisa terwujud bila pemerintah berani mengambil langkah berani: menghapus ketergantungan pada energi kotor, memperkuat pendanaan iklim, dan memberikan sinyal pasar yang jelas bagi investor hijau. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles