Perusahaan-perusahaan migas pimpin pengembangan CCUS, lebih dari 70% total proyek global

Jakarta — Laporan terbaru “Carbon Capture and Storage” yang dirilis lembaga riset dan analitik GlobalData pada pertengahan Juli, menemukan bahwa lebih dari 50 fasilitas Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) skala komersial telah beroperasi hanya di sektor energi sepanjang 2024 dengan total kapasitas penangkapan karbon dari fasilitas-fasilitas tersebut mencapai 45 juta ton CO₂ per tahun (Mtpa). Sampai dengan 2024, lebih dari 70% fasilitas CCUS yang sudah beroperasi dan yang direncanakan berhubungan dengan perusahaan energi.

Teknologi CCUS menjadi andalan dalam mendekarbonisasi sektor-sektor industri berat yang sulit ditinggalkan, seperti semen, baja, kilang minyak, dan pembangkit listrik berbasis batu bara dan dipimpin oleh perusahaan minyak dan gas bumi (migas). Di sisi lain, para pengamat dan aktivis lingkungan memandang teknologi ini sebagai solusi palsu karena mahal dan tidak efisien dan sering kali diterapkan untuk menutupi ketergantungan bahan bakar fosil dan menunda pengurangan emisi yang sesungguhnya.

“Kami tidak melihat CCUS sebagai solusi iklim yang layak. CCUS adalah pengalih perhatian yang menipu, berbahaya, dan pada akhirnya merupakan solusi yang salah. Teknologi ini membawa ketidakpastian yang signifikan, kewajiban jangka panjang, dan risiko lingkungan dan sosial yang serius, yang semuanya dapat membebankan biaya yang besar bagi pemerintah dan masyarakat,” dalam rilis menanggapi rancangan undang-undang CCUS di Malaysia belum lama ini.

Dominasi perusahaan migas dan peran regulasi

Laporan GlobalData mengatakan bahwa tidak seperti tren energi bersih lainnya yang kerap digerakkan oleh permintaan konsumen, adopsi CCUS dipicu oleh dukungan kebijakan dan insentif ekonomi. “Jika seluruh proyek CCUS yang saat ini dirancang berhasil terealisasi, maka kapasitas global bisa melonjak menjadi hampir 316 Mtpa pada tahun 2030,” tulis laporan tersebut, 25 Juni 2025.

Ravindra Puranik, analis migas di GlobalData, menjelaskan bahwa kebijakan seperti sistem perdagangan emisi (ETS) Uni Eropa, pajak karbon Kanada, dan kredit pajak 45Q di Amerika Serikat, menjadi faktor pendorong utama.
“Kerangka kerja ini telah membantu mengimbangi tingginya biaya modal dan operasional penyebaran CCUS, terutama di industri padat energi, dan mendorong munculnya proyek-proyek berskala besar secara global,” ujar Puranik.

Beberapa raksasa migas global seperti ExxonMobil, Occidental Petroleum, dan Equinor tercatat menjadi penggerak awal CCUS. Mereka bekerja sama dengan perusahaan rekayasa industri seperti Technip Energies, Mitsubishi Heavy Industries, dan Schlumberger (SLB) untuk merancang dan membangun sistem penangkapan karbon dari hulu hingga hilir.

GlobalData mencatat setidaknya 17 proyek CCUS dalam tahap akhir pembangunan diperkirakan akan mulai beroperasi akhir 2025. Selain itu, lebih dari 460 proyek lainnya tengah dikembangkan di berbagai sektor industri, mulai dari petrokimia hingga pembangkit listrik.

Puranik menambahkan, aspek regulasi lintas batas seperti izin penyimpanan jangka panjang dan transportasi CO₂ antarnegara masih belum jelas. Situasi ini membuat investor bersikap hati-hati. Di sisi lain, skeptisisme publik juga muncul. Beberapa pihak mengkritik CCUS sebagai upaya memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil, bukan solusi nyata untuk menurunkan emisi.

GlobalData menilai bahwa dengan dukungan kebijakan yang tepat dan kolaborasi lintas sektor, CCUS tetap memiliki masa depan cerah. Apalagi, teknologi ini bisa menjadi semacam “sabuk pengaman” dalam upaya transisi energi, terutama untuk industri berat yang belum memiliki alternatif rendah karbon yang layak secara ekonomi. (Hartatik)

Foto banner: Platform Gas Laut Utara – D15-A. Gary Bembridge/Wikimedia commons.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles