Jakarta – Pemerintah memberikan peluang koperasi untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan batubara lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025.
“Dengan terbitnya PP ini, koperasi sudah bisa menggarap dan mengelola sektor pertambangan seperti mineral dan batubara,” ujar Ferry Juliantono, Menteri Koperasi dan UKM, dalam konferensi pers, Selasa, 7 Oktober.
Menurut Ferry, aturan baru ini memberi kesempatan bagi koperasi untuk berperan lebih besar dalam ekonomi nasional — tak hanya sebagai pelengkap usaha mikro dan kecil, tapi sebagai pemain langsung di sektor strategis.
Peraturan baru ini akan mengubah peta pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang selama ini didominasi oleh korporasi besar. Pasal 26F dalam PP tersebut menegaskan luas WIUP mineral logam atau WIUP batubara untuk koperasi dan badan usaha kecil dan menengah diberikan paling luas sebesar 2.500 hektare.
“Luas lahan yang diperbolehkan mencapai 2.500 hektare. Harapannya, kebijakan ini memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat di wilayah yang punya potensi tambang,” jelas Ferry.
Sementara verifikasi administratif dan keanggotaan koperasi menjadi wewenang penuh Kementerian Koperasi dan UKM, bukan Kementerian ESDM.
“Ini akan menjadi kegiatan baru bagi koperasi — dari pengelolaan tambang hingga potensi sumur minyak rakyat,” kata Ferry. Ia menyebut program ini akan menjadi bagian dari Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sebagai bentuk nyata ekonomi gotong royong di era industri.
Potensi besar, tapi tidak tanpa risiko
Sejumlah pakar mengingatkan pentingnya kehati-hatian. Kompleksitas dunia tambang — mulai dari pembiayaan, risiko lingkungan, hingga tata kelola sosial — menjadi ujian bagi koperasi untuk membuktikan kapasitasnya.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai kebijakan ini menyimpan risiko terselubung. “Bukan hanya soal menambang. Koperasi harus mampu mengelola dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas tambang, yang selama ini jadi tantangan besar bagi perusahaan besar sekalipun,” jelas Huda.
Ia juga mengingatkan potensi penyalahgunaan skema koperasi oleh pihak-pihak bermodal besar. “Kita perlu memastikan kebijakan ini tidak dijadikan pintu belakang bagi korporasi besar untuk tetap menguasai tambang lewat baju koperasi. Jangan sampai koperasi hanya jadi ‘topeng legalitas’,” tegasnya.
Selain itu, Huda menyoroti kendala pembiayaan yang bisa menjadi batu sandungan utama. Risiko sektor tambang yang tinggi membuat perbankan cenderung hati-hati menyalurkan kredit kepada koperasi.
“Perbankan pasti akan skeptis. Kapasitas koperasi untuk mengelola tambang belum banyak terbukti, sementara kebutuhan modalnya besar dan berisiko tinggi,” ujarnya. (Hartatik)
Foto banner: Tom Fisk/Pexels.com