oleh: Hartatik
Bali – Asia Tenggara (SEA) disebut-sebut menjadi “benteng terakhir dari kejayaan industri batubara. Pada 2019, disaat seluruh dunia semakin mengurangi penggunaan batubara, tapi pembangkit listrik tenaga batubara di SEA justru tumbuh 12 persen. Kenyataan yang ironis, bahwa kawasan ini berkontribusi dan sangat terpengaruh oleh perubahan iklim, karena ketergantungannya pada batubara.
Center for Energy, Ecology and Development (CEED) mengungkapkan, gerakan sipil dan masyarakat yang menentang batubara telah membuahkan hasil. Lembaga keuangan terpaksa menarik diri dari pembiayaan pembangkit listrik tenaga batubara. Sayangnya negara-negara Asia Tenggara tidak menggunakan perkembangan positif ini justru tidak dimanfaatkan oleh negara-negara SEA untuk beralih ke energi yang benar-benar bersih, dari energi terbarukan. Masyarakat Asia Tenggara sekarang terpaksa menghadapi bahan bakar fosil lain: gas alam, yang lebih tepat disebut sebagai gas fosil.
“Negara SEA sebagai benteng terakhir batubara dengan cepat berubah menjadi pusat gas fosil dan LNG. Pemerintah dan perusahaan listrik mempromosikan rencana ekspansi gas besar-besaran dengan kedok pembangunan,” ungkap Gerry Arances, Executive Director CEED.
Saat ini, Asia Tenggara memiliki 117 Giga Watt (GW) kapasitas gas fosil baru dalam tahap pra-konstruksi, melampaui 77 GW di Asia Timur dalam ekspansi pembangkit listrik gas fosil yang belum dibangun.
Disebut-sebut sebagai alternatif yang bersih dibanding batu bara, gas fosil malah berbahaya bagi Asia Tenggara yang rentan terhadap iklim. Selain itu, rencana ekspansi gas fosil di Asia Tenggara mengancam kekayaan keanekaragaman hayati laut yang kaya di wilayah tersebut. Kekhawatiran inilah yang mendorong masyarakat adat di Desa Adat Intaran, Sanur, Bali menolak keras rencana pembangunan terminal liquefied natural gas (LNG).
Puluhan orang perwakilan warga Desa Adat Intaran, Sanur, mendatangi gedung DPRD Bali, 9 Juni lalu. Bersama dengan pecalang dan prajuru desa adat, mereka menyerahkan surat penolakan terkait pembangunan terminal LNG yang direncanakan pemerintah di kawasan hutan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Desa Sidakarya, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali oleh Perusahaan Daerah Provinsi Bali PT Dewata Energi Bersih (DEB) bersama PT PLN (Persero) melalui anak usahanya PT PLN Gas dan Geothermal.
Kawasan itu memiliki fungsi vital sebagai penyerap karbon, pengendalian abrasi, dan pereduksi ancaman tsunami di Bali. Pemanfaatan kawasan pesisir di Selat Badung itu dinyatakan juga berdampak terhadap ekosistem terumbu karang.
Aksi protes ini terjadi untuk kesekian kali setelah sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (Kekal) Bali dan Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (Frontier) Bali juga menolak rencana pembangunan terminal LNG tersebut. Penolakan itu disampaikan saat sosialisasi rencana pembangunan terminal LNG di Sidakarya, Densel, oleh PT Dewata Energi Bersih (DEB), 21 Mei lalu.
Pembangunan terminal LNG itu dinilai bertentangan dengan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah, serta Undang-Undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ironinya, PT DEB belum mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Kelihan Banjar Dangin Peken Desa Adat Intaran, Made Sunarta mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keberlangsungan pura di pesisir Sanur bila terdampak abrasi, dengan adanya rencana pembangunan terminal LNG tersebut.
“Meski lokasi proyek terminal LNG itu di Sidakarya, tapi letaknya bersebelahan dengan wilayah Desa Adat Intaran,” kata Made Sunarta.
Lebih lanjut, menurutnya, ada enam pura yang dinamai Muntig Siokan di Desa Adat Intaran. Salah satunya yakni Pura Dalem Pengembak yang berjarak hanya sekitar 280 meter dari lokasi rencana pembangunan terminal LNG tersebut. Pura Dalem Pengembak selama ini disakralkan masyarakat setempat. Selain itu, pembangunan terminal LNG juga dinilai bertentangan dengan misi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya restorasi mangrove. Penyusutan terhadap luasan mangrove dapat mendegradasi kualitas lingkungan dan mitigasi bencana Bali, menyebabkan kerusakan ekosistem, dan memperparah abrasi di pesisir Sanur, juga berpotensi menghancurkan kawasan suci Pura di Pesisir Sanur.
“Kami bukan menolak energi bersih. Yang kami tolak adalah pembangunan terminal LNG, yang seharusnya sesuai Perda Provinsi Bali berada di Pelindo Benoa, tapi sekarang berada di (pesisir) Sidakarya dan Sanur,” tegasnya.
Menurutnya, sebanyak 14.273 warga adat menolak rencana proyek besar ini. Alasannya karena mereka akan tinggal selamanya dan berdampingan dengan terminal LNG di tanah tersebut jika proses pembangunan berjalan. Mereka juga sadar mengenai pentingnya energi bersih untuk Pulau Dewata. Tapi, masyarakat melihat banyak hal yang tak terjawab dalam sosialisasi yang cuma mereka dengarkan sekali. Karena itu, warga mulai bergerak dengan menyurati DPRD Bali. Selanjutnya, mengirim surat kepada Gubernur Bali, dan Pemerintah Kota Denpasar.
Direktur Walhi Bali, Made Krisna Dinata menyampaikan penolakan terhadap rencana pembangunan Terminal LNG di kawasan khusus mangrove Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai di Desa Sidakarya saat sosialisasi oleh pelaksana proyek PT Dewata Energi Bersih, akhir Mei 2022.
Kekhawatiran serupa disampaikan Direktur Walhi Bali, Made Krisna Dinata. Ia mengkhawatirkan pembangunan LNG dan pengerukan pasir untuk alur laut sejumlah 3.300.000 meter kubik itu, akan mempercepat abrasi dan pastinya akan mengancam pura-pura yang ada di pesisir.
Dia menjelaskan selain aturan hukum, dari riset ditemukan proyek tersebut berpotensi merusak mangrove. Hal ini lantaran akan dilakukan pengerukan pasir. Bahkan hasil riset yang dilakukan Kekal, Frontier, dan Walhi menghasilkan fakta, bahwa pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove paling sedikit membabat mangrove seluas 7,73 hektar dan merusak terumbu karang seluas 5,75 hektar.
“Dengan adanya pengerukan pasti akan berakibat sedimentasi. Kemudian pembabatan mangrove akan memberi kesan buruk menjelang Presidensi G20 yang justru mengkampanyekan hutan mangrove untuk perubahan iklim,” lanjutnya.
Ketua LSM Kekal Bali Wayan Gendo Suardana menyatakan, soal terminal LNG itu merupakan materi baru, karena peraturan daerah tentang tata ruang tata wilayah Provinsi Bali revisi terakhir yang berlaku saat ini mengatur bahwa lokasi terminal LNG adalah di Pelabuhan Benoa.
Adapun dalam Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan, bahwa peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang wilayah provinsi dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang.
“Artinya revisi tata ruang tidak boleh dilakukan untuk mengakomodir izin suatu proyek,” tegas Gendo, Rabu (22/6).
Informasi yang didapatkan, rencana pembangunan terminal LNG Sidakarya ini berawal dari memory of understanding (MOU) antara Gubernur Bali dengan PLN pada 21 Agustus 2019. Selanjutnya dalam MOU tersebut kewajiban gubernur adalah menyediakan lahan untuk Terminal LNG dan menunjuk perusahaan daerah untuk mengurus Terminal LNG.
Setelah menunjuk perusahaan daerah PT Dewata Energi Bersih (PT DEB), lalu dilakukan joint feasibility study dengan Indonesia Power pada tahun 2021. Pada tahun itu Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Taman Hutan Raya (UPTD KPHK) Tahura Ngurah Rai juga mengubah area proyek Terminal LNG yang awalnya blok perlidungan menjadi blok khusus dan DPRD Bali ingin mengubah peraturan daerah tata ruang tata wilayah Provinsi Bali untuk mengakomodir Terminal LNG, karena pada 21 April 2021 Gubernur Bali sudah menerbitkan izin prinsip.
Menurut Gendo, jika yang digunakan dasar oleh Gubernur Bali adalah peraturan daerah tingkat kota, maka mesti kembali merujuk Undang-Undang Tata Ruang yang disusun berjenjang dan komplementer, di mana dalam penyusunannya tidak boleh bottom up, melainkan harus disusun secara top down.
Bagian 2: Pembangunan Terminal LNG di Bali: Kurang Sosialisasi?
Bagian 3: Pembangunan Terminal LNG di Bali: Menunda Transisi Energi
Foto banner: Presiden Joko Widodo mengunjungi Taman Hutan Raya Ngurah Rai di Bali pada akhir 2021. Hutan bakau ini akan dipertontonkan dalam Presidensi G20 tapi sekaligus ditetapkan sebagai lokasi pembangunan Terminal LNG seluas 3 hektar di Desa Sidakarya, Denpasar. (Sumber: Dok Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali)
Liputan mendalam ini diterbitkan melalui dukungan dari Fellowship Jurnalisme LNG ASEAN bersama Climate Tracker dan CEED.