Jakarta – Paparan logam berat akibat aktivitas industri nikel di Teluk Weda, Maluku Utara, tidak hanya berdampak pada pekerja pabrik, tetapi justru lebih mengancam masyarakat lokal. Dalam laporan yang diumumkan akhir Mei, dikatakan bahwa temuan tersebut adalah hasil penelitian bersama Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako (Untad) mengenai kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat di wilayah sentra nikel tersebut.
Penelitian lapangan yang dilakukan pada Juli 2024 menunjukkan hasil: 47% warga lokal yang diperiksa memiliki kadar merkuri dalam darah melebihi batas aman 9 µg/L, dan 32% lainnya juga melampaui ambang batas arsenik sebesar 12 µg/L, dari total 46 responden. Yang lebih mengejutkan, kadar logam berat dalam darah warga justru lebih tinggi dibandingkan para pekerja di kawasan industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
“Data ini menjadi peringatan serius terhadap bahaya jangka panjang dari pajanan logam berat yang tidak hanya bersumber dari aktivitas kerja, tapi sudah menyebar melalui lingkungan hidup,” tegas Prof Darmawati Darwis dari Fakultas MIPA Untad.
Ikan tercemar, sungai tak layak minum
Kondisi lingkungan pun menunjukkan degradasi tajam. Air Sungai Ake Jira, yang selama ini menjadi sumber air minum dan air bersih masyarakat, kini melampaui ambang batas baku mutu air kelas 1 berdasarkan parameter BOD5 dan COD. Warna air berubah menjadi oranye pekat dengan kekeruhan tinggi, yang menurut penelitian, hanya layak untuk kegiatan pertanian atau perikanan air tawar.
Temuan ini memperkuat keluhan masyarakat lokal yang sejak lama merasa kehilangan akses terhadap air bersih.
“Dulu kami bisa minum langsung dari sungai. Sekarang bahkan untuk mencuci pun kami harus berpikir ulang,” kata Elyas Salim, warga Gemaf, salah satu kampung pesisir di Teluk Weda.
Sementara itu, pengujian terhadap 16 ikan hasil tangkapan nelayan Teluk Weda juga menunjukkan seluruh sampel mengandung merkuri dan arsenik. Konsentrasi merkuri berkisar antara 0,02 hingga 0,28 mg/kg, dan arsenik antara 0,43 hingga 3,03 mg/kg, melampaui ambang batas aman WHO untuk arsenik yaitu 2 mg/kg. Ikan sorihi yang ditangkap di perairan Gemaf tercatat sebagai yang paling tercemar.
“Ini bukti kuat bahwa pencemaran telah menyusup ke rantai makanan masyarakat. Paparan rutin terhadap ikan tercemar dapat memicu penyakit kronis seperti kanker, gangguan saraf, hingga gangguan sistem kekebalan tubuh,” ujar Yuyun Ismawati, pendiri sekaligus Senior Advisor Nexus3 Foundation.
Data 2024 tunjukkan peningkatan tajam dibanding tahun 2007
Ketika dibandingkan dengan data dasar tahun 2007 dari studi Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) oleh LIPI, kadar arsenik dalam ikan Teluk Weda kini meningkat hingga 20 kali lipat, sementara kadar kromium melonjak 13 kali dibandingkan nilai tertinggi sebelumnya. Fakta ini menjadi bukti bahwa ekspansi industri nikel berdampak kumulatif dan memburuk dari waktu ke waktu.
Laporan tersebut menyerukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meninjau ulang semua izin industri nikel di wilayah Teluk Weda. Peninjauan ini harus mencakup pengawasan emisi, pengelolaan limbah, serta dampak ekologis yang ditimbulkan.
Lebih jauh, Kementerian Kesehatan diminta untuk melakukan studi prevalensi penyakit tidak menular di wilayah tersebut sebagai upaya mendeteksi tren dampak kesehatan jangka panjang. Studi ini juga mendorong adanya transparansi data lingkungan, agar masyarakat dapat mengakses informasi dan mendorong akuntabilitas dari pihak industri maupun pemerintah.
“Negara harus berhenti melindungi keuntungan industri dengan mengorbankan kesehatan rakyat. Pajanan logam berat ini bukan soal teknis, tapi soal hak hidup sehat yang dijamin konstitusi,” pungkas Yuyun. (Hartatik)
Foto banner: Morowali Utara, Indonesia. 26 November 2022: Pembangunan pabrik peleburan furronikel. (Eklesia_Magelo/shutterstock.com)