Koalisi masyarakat sipil: Hilirisasi nikel rusak lingkungan, Presiden harus tinjau ulang PLTU dan PSN

Jakarta – Kelompok masyarakat sipil menyuarakan peringatan keras terhadap dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkannya. Dalam peluncuran laporan bertajuk “Sulawesi Lumbung Polusi: Hilirisasi Nikel dan Runtuhnya Tatanan Sosial-Ekologis”, Jumat, 23 Mei, Koalisi “Sulawesi Tanpa Polusi” merilis laporan investigatif yang menyebut bahwa ekspansi industri nikel di Sulawesi justru menciptakan “lumbung polusi” alih-alih kemajuan.

Koordinator koalisi, Muhammad Al Amin, menegaskan bahwa hilirisasi nikel yang ditopang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara telah mendorong kerusakan lingkungan sistemik, menggusur masyarakat adat, hingga memicu krisis kesehatan publik. “Kami tidak menyaksikan kemajuan, tetapi kehancuran ekologis yang masif dan sistemik,” tegas Amin.

Delegasi masyarakat terdampak dan organisasi sipil mengirim perwakilan ke Jakarta pada 21 Mei 2025, untuk menemui pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Perindustrian. Mereka membawa sederet tuntutan yang mencakup penghentian pembangunan PLTU captive (PLTU khusus industri) di kawasan nikel, revisi Peraturan Presiden No 112/2022 yang memberikan pengecualian terhadap penggunaan batu bara oleh sektor industri strategis, peninjauan kembali status Proyek Strategis Nasional (PSN) bagi proyek-proyek nikel yang terbukti merusak lingkungan, perlindungan terhadap wilayah kelola masyarakat dan hutan adat, reformasi penegakan hukum pertambangan dan keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan.

“Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian tidak memiliki peta jalan yang jelas untuk menghentikan ketergantungan industri terhadap batu bara. Padahal, hampir semua smelter nikel di Sulawesi mengandalkan PLTU, yang berkontribusi besar terhadap polusi udara dan air,” ujar Amin.

Dampak lingkungan dari Morowali ke Konawe

Laporan tersebut memaparkan temuan lapangan dari berbagai lokasi terdampak industri nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, warga sekitar PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) melaporkan penurunan kualitas udara, polusi laut, penggusuran lahan, serta kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan.

“Sejak PLTU dan smelter beroperasi, kasus penyakit pernapasan meningkat. Bahkan anak-anak pun mulai terdampak,” kata Amin.

Di Konawe, Sulawesi Tenggara, masyarakat hidup berdampingan dengan abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) yang mencemari sumber air. Debu batu bara juga meningkatkan beban kerja rumah tangga, terutama bagi ibu-ibu.

Koalisi menekankan bahwa Presiden Prabowo Subianto sebagai pemimpin baru, harus mengambil sikap tegas. Mereka mendesak agar semua proyek PLTU batu bara untuk industri dihentikan dan pendanaan dari perusahaan asing, terutama korporasi asal Tiongkok, segera dievaluasi ulang.

“Presiden Prabowo harus segera hentikan pembangunan PLTU captive, tinjau ulang status PSN proyek-proyek nikel berisiko tinggi, serta lindungi hutan adat dan ruang hidup masyarakat lokal,” tegas Amin.

Koalisi juga mendesak peningkatan standar perlindungan sosial dan lingkungan, serta pembuatan mekanisme akuntabilitas independen bagi industri tambang dan energi. Laporan ini menjadi alarm keras bagi pemerintah dan pemangku kepentingan. Jika transisi energi hanya berpihak pada kepentingan industri dan investor, tanpa melibatkan masyarakat dan menjaga lingkungan, maka kehancuran sosial dan ekologis hanya tinggal menunggu waktu.

“Transisi energi tak bisa dibangun di atas penderitaan masyarakat dan kehancuran ekosistem,” pungkas Amin. (Hartatik)

Foto banner: shutterstock

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles