Jakarta — Pidato perdana Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB ke-80 menuai kritik tajam dari kelompok masyarakat sipil Indonesia, yang menggambarkan pernyataannya sebagai tidak sesuai dengan kenyataan di dalam negri.
Dalam siaran pers pada Rabu, 24 September, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam JustCOP atau Justice Coalition for Our Planet, mengatakan pesan tersebut kurang memadai. Para peneliti mencatat penurunan hasil panen padi dan kenaikan harga domestik yang tajam, yang bertentangan dengan klaim tentang keamanan pangan. Jaya Darmawan dari CELIOS mengatakan, “Realitanya sawah berkurang dan harga beras dalam negeri terus melambung”.
Di New York pada Selasa, Prabowo menyoroti pencapaian Indonesia dalam swasembada beras, janji untuk merehabilitasi 12 juta hektar lahan terdegradasi, pembangunan tembok laut sepanjang 480 kilometer, dan ambisi untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih awal. Pernyataan tersebut menandai pidato pertama seorang presiden Indonesia di PBB dalam satu dekade.
Kelompok lingkungan juga menyoroti bahwa Indonesia belum menyerahkan komitmen iklim terbarunya (SNDC), melewati batas waktu 20 September. Nadia Hadad dari Madani Berkelanjutan berargumen bahwa solusi teknis, seperti reforestasi, tidak dapat menggantikan penanganan ketidaksetaraan struktural yang memperparah krisis iklim.
Sementara itu, analis energi mengkritik target energi terbarukan yang diturunkan oleh pemerintah, yang memperkirakan hanya 19–23% dari campuran energi pada tahun 2030, lebih rendah dari target sebelumnya. “Dengan dominasi energi fosil 79% pada 2030–yang 50% dari batu bara – target Paris Agreement, menjaga kenaikan suhu dibawah 1,5 derajat celcius mustahil tercapai,” peneliti ICEL, Saffanah Azzahra mengingatkan.
Para pegiat hak asasi manusia juga menuduh Prabowo menerapkan standar ganda. Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia mengatakan bahwa janji untuk menjaga perdamaian terasa kosong tanpa meratifikasi perjanjian internasional atau menangani pelanggaran hak asasi manusia di dalam negeri. ”Untuk apa memoles gincu di luar negeri, jika hak asasi manusia di dalam negeri diabaikan?” tanyanya.
Kelompok masyarakat sipil menyimpulkan bahwa diplomasi global Indonesia hanya akan memiliki bobot jika sejalan dengan keadilan dalam kebijakan iklim, pangan, dan hak asasi manusia di dalam negeri. (nsh)
Foto banner: JustCOP, or Justice Coalition for Our Planet