IESR: Transportasi, konsumsi makanan sumbang emisi karbon tertinggi di Pulau Jawa

Jakarta — Jejak karbon individu di Pulau Jawa menunjukkan fakta mencemaskan dimana sektor transportasi dan makanan mendominasi sumber emisi gas rumah kaca (GRK), terutama di kawasan perkotaan. Kajian terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut aktivitas harian masyarakat menjadi penyumbang signifikan terhadap percepatan krisis iklim.

“Rata-rata jejak karbon individu di wilayah perkotaan mencapai 3,39 ton CO₂ ekuivalen per tahun, lebih tinggi dibandingkan semi perkotaan (2,81 ton) dan perdesaan (2,33 ton),” ungkap Deon Arinaldo, Manajer Transformasi Sistem Energi IESR, dalam peluncuran kajian “Pola Jejak Karbon Individu Berdasarkan Profil Demografis di Kawasan Perkotaan, Semi Perkotaan, dan Perdesaan di Pulau Jawa”, Rabu, 23 Juli.

Kajian tersebut dilakukan di sembilan wilayah dengan karakteristik demografis yang berbeda — dari kota besar seperti Jakarta Selatan hingga kawasan pedesaan seperti Banjarnegara. Data dikumpulkan dari 483 responden yang mewakili total populasi sekitar 11,7 juta jiwa.

Deon menjelaskan bahwa angka emisi ini paling besar berasal dari transportasi (43,34%), diikuti oleh sektor makanan (34,91%) dan rumah tangga (21,08%). Tingginya emisi dari transportasi, menurutnya, dipicu oleh ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi dan minimnya alternatif transportasi publik yang efisien.

“Sektor makanan juga menyumbang emisi besar, terutama dari konsumsi daging dan makanan olahan yang proses produksinya menghasilkan karbon tinggi,” jelasnya. Ia menambahkan, untuk menyerap emisi sebesar itu, dibutuhkan sekitar 25 pohon yang hidup selama 20 tahun — hanya untuk satu individu per tahun.

Sebagai bagian dari upaya edukasi publik, IESR juga meluncurkan platform Jejakkarbonku.id, yang hingga pertengahan 2025 telah digunakan oleh lebih dari 76 ribu pengguna. Platform ini memungkinkan masyarakat menghitung sendiri kontribusi karbonnya berdasarkan aktivitas sehari-hari.

Sementara itu, Irwan Sarifudin, Koordinator Clean Energy Hub IESR, menekankan bahwa pola konsumsi masyarakat kelas menengah dan atas menjadi faktor pendorong utama tingginya emisi. “Kelompok berpenghasilan tinggi cenderung menggunakan kendaraan pribadi, mengonsumsi lebih banyak energi, dan produk-produk tinggi emisi. Ironisnya, dampak dari emisi ini justru paling dirasakan oleh kelompok rentan,” ujarnya.

IESR mendorong pemerintah untuk menargetkan dua sektor utama dalam strategi penurunan emisi. Pertama pada sektor transportasi dengan pengembangan transportasi ramah lingkungan seperti kendaraan listrik, jalur sepeda, dan sistem transportasi publik terintegrasi harus menjadi prioritas, khususnya di perkotaan. Di daerah semi-perkotaan dan desa, akses terhadap angkutan umum dan insentif motor listrik juga perlu diperkuat.

Kedua, sektor konsumsi rumah tangga dan makanan. Pemerintah dapat memberikan subsidi untuk peralatan hemat energi, seperti lampu LED dan inverter, serta memperluas akses terhadap panel surya lewat skema pembiayaan fleksibel. Di sektor makanan, kampanye konsumsi rendah emisi dan kerja sama dengan produsen lokal diperlukan agar produk-produk rendah karbon bisa lebih terjangkau dan mudah diakses. (Hartatik)

Foto banner: Mikechie Esparagoza/Pexels.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles