Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta pemerintah memperkuat target penurunan emisi dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) 3.0 serta segera menyerahkannya ke Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebelum pelaksanaan Conference of the Parties (COP) 30 pada November 2025.
Di tengah lonjakan suhu ekstrem dan cuaca tak menentu yang melanda banyak daerah di Indonesia, desakan terhadap komitmen iklim nasional kembali menguat. Menurut IESR, dalam keterangan tertulis, Rabu, 22 Oktober, langkah cepat ini akan menjadi bentuk nyata kepemimpinan Indonesia di kancah global dalam upaya menahan laju pemanasan bumi, sekaligus menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang berkomitmen terhadap transisi energi bersih.
“Indonesia memiliki peluang besar menunjukkan kepemimpinan global melalui komitmen iklim yang ambisius dan realistis. Namun, target dalam draf NDC 3.0 saat ini belum cukup kuat untuk memenuhi tujuan Persetujuan Paris,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
Draf NDC 3.0 belum ambisius
IESR mengakui terdapat sejumlah kemajuan dalam rancangan NDC 3.0 dibandingkan versi sebelumnya, seperti penambahan sektor kelautan dan migas hulu, serta target pengelolaan sampah nol (zero waste) pada 2040. Dokumen ini juga mencakup prinsip transisi berkeadilan dan penggunaan baseline baru tahun 2019.
Namun, Fabby menilai, baik target bersyarat maupun tidak bersyarat dalam draf tersebut masih belum sejalan dengan pembatasan kenaikan suhu global di bawah 2°C sesuai Persetujuan Paris. Target tanpa syarat justru masih membuka ruang peningkatan emisi hingga pertengahan abad, sementara target bersyarat baru menunjukkan penurunan signifikan setelah 2035.
Sebagai bagian dari solusi, IESR mendorong pemerintah mempercepat puncak emisi sebelum 2030, antara lain dengan percepatan penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan percepatan pengembangan energi terbarukan.
Analisis dari Climate Action Tracker (CAT)—konsorsium riset internasional yang juga diikuti IESR—menyebut, untuk sejalan dengan jalur 1,5°C, Indonesia perlu menurunkan emisi gas rumah kaca menjadi 850 juta ton CO₂e pada 2030, dan 720 juta ton CO₂e pada 2035, di luar kontribusi sektor lahan dan kehutanan.
Reformasi energi dan pasar karbon
IESR juga menekankan pentingnya reformasi subsidi bahan bakar fosil dan peningkatan efisiensi energi di sektor industri dan bangunan. Langkah tersebut diyakini dapat menekan emisi sekaligus menurunkan biaya energi dalam jangka panjang.
Selain itu, IESR mengatakan Peraturan Presiden (Perpres) No 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional yang baru diterbitkan adalah tonggak penting dalam menyelaraskan kebijakan karbon dengan aktivitas ekonomi nasional.
Namun, Fabby mengingatkan perlunya sistem perlindungan (safeguard) dan transparansi agar perdagangan karbon berjalan kredibel dan bebas dari praktik kecurangan (carbon fraud).
“Pasar karbon yang sehat hanya bisa dibangun bila ada integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Pemerintah perlu memastikan instrumen ini benar-benar berfungsi mengurangi emisi, bukan sekadar menjadi transaksi finansial,” tegasnya.
Dengan waktu kurang dari sebulan menuju COP 30 di Brasil, IESR berharap Indonesia segera memfinalisasi dan mengirimkan NDC 3.0 ke UNFCCC. Keputusan ini akan menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya peserta, tetapi juga pemimpin dalam upaya global mengatasi krisis iklim.
“Momentum menuju COP 30 harus dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara berkembang yang mampu mengambil peran strategis dalam transisi energi global,” tutup Fabby. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)


