Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menegaskan bahwa Indonesia perlu menyatukan sistem penanganan pandemi dan perubahan iklim dalam kerangka penanggulangan bencana nasional. Dua ancaman itu dinilai kian berhubungan erat, sehingga tidak lagi efektif jika ditangani secara terpisah.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Pangarso Suryotomo, dalam keterangannya, Senin, 3 November, mengatakan pengalaman Indonesia menghadapi Covid-19 menunjukkan kuatnya kapasitas koordinasi nasional. Namun, ia menilai pendekatan tersebut perlu diperluas karena risiko kesehatan mulai dipicu langsung oleh perubahan iklim global.

“BNPB percaya bahwa resiliensi berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui integrasi antara sistem kesehatan, tata kelola risiko bencana, dan adaptasi perubahan iklim,” ujar Pangarso melalui keterangan tertulis.
Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, pandemi sudah dikategorikan sebagai bencana non-alam, sehingga BNPB memiliki mandat memimpin penanganannya, sebagaimana terjadi pada Covid-19. Namun kini, dinamika iklim memicu munculnya ancaman baru seperti perluasan wilayah penyakit, kenaikan suhu ekstrem, dan gangguan pasokan air. “Pendekatan itu perlu diperluas dengan memasukkan dimensi perubahan iklim,” jelasnya.
BNPB menyebut ancaman pandemi dan perubahan iklim harus diarusutamakan dalam setiap fase penanggulangan bencana, mulai dari kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, hingga pemulihan. Rekomendasi itu juga merupakan tindak lanjut pembelajaran dari kegiatan internasional Communities in Pandemic Preparedness and Response (COPPER) di Nairobi, Kenya.
Sebagai langkah konkret, BNPB mengusulkan pembentukan sistem koordinasi nasional yang bersifat terpusat dan inklusif, dengan menghubungkan BNPB, Kementerian Kesehatan, dan jaringan komunitas. Menurut Pangarso, platform tersebut tidak hanya menjadi saluran komunikasi, tetapi juga pusat komando untuk respons cepat. “Dengan kemampuan itu, ketiga pilar bisa saling memberikan peringatan dini, memantau perkembangan ancaman, dan mengoptimalkan penyaluran sumber daya,” ujarnya.
BNPB juga menekankan urgensi penyusunan panduan evakuasi serta rantai pasok logistik kesehatan agar layanan darurat dan distribusi bantuan seperti obat-obatan, air bersih, dan tenda bisa tersalurkan dengan cepat dan merata. Panduan itu disebut penting untuk menjaga kelangsungan layanan kesehatan dasar ketika terjadi bencana.
Pangarso menegaskan bahwa pendekatan kebencanaan memungkinkan respons yang lebih menyeluruh, bukan hanya jangka pendek. “Pendekatan kebencanaan memungkinkan respons yang lebih menyeluruh, mulai dari pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat, hingga pemulihan pascabencana, dengan melibatkan seluruh unsur pemerintah dan masyarakat,” katanya.
Lebih jauh, BNPB menyoroti dampak perubahan iklim yang memperluas risiko kesehatan, salah satunya munculnya kembali penyakit di wilayah yang sebelumnya bebas endemik, dipicu oleh perubahan suhu dan pola cuaca.
Menurut Pangarso, kesiapsiagaan pandemi kini harus mempertimbangkan konteks krisis iklim. Pendekatan ini sejalan dengan konsep Resilient and Sustainable Systems for Health (RSSH) atau sistem kesehatan yang tangguh dan berkelanjutan, yang dianggap sejalan dengan kebijakan adaptasi iklim.
Melalui pendekatan terpadu tersebut, BNPB menyatakan komitmen memperkuat kolaborasi lintas negara dan lintas sektor.
“Ancaman pandemik dan dampak iklim adalah tantangan global yang tidak bisa dihadapi secara parsial. Integrasi sistem ini adalah langkah menuju masa depan yang lebih tangguh,” kata Pangarso. (Hartatik)
Foto banner: Kondisi banjir yang melanda wilayah Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh pada Selasa (4/11). Sumber: BPBD Kabupaten Aceh Jaya


