Jakarta – Energy Shift Institute (ESI) menyoroti kelemahan mendasar dalam Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI), yang dinilai belum mampu membedakan antara kegiatan industri yang benar-benar berkelanjutan dengan yang sekadar menyampaikan niat dekarbonisasi tanpa bukti nyata. Lembaga riset tersebut menilai kebijakan ini justru berpotensi menyesatkan investasi dan menghambat transisi menuju ekonomi rendah karbon.
“Kami melihat taksonomi ini cenderung permisif terhadap industri padat karbon, seperti pertambangan dan PLTU, tanpa adanya kewajiban bukti nyata pengurangan emisi,” tegas Hans Sutikno, peneliti ESI sekaligus penulis laporan “Two Mining Powerhouses, Two Different Standards”, Senin, 28 Juli.
Dalam laporan itu, ESI membandingkan pendekatan Indonesia dengan Australia—dua negara eksportir batu bara terbesar dunia yang tengah berlomba menjadi pusat industri hijau global. Australia menerapkan standar yang jauh lebih ketat, hanya memberi label transisi pada industri tambang dan mineral jika mereka memiliki strategi dekarbonisasi berbasis ilmiah, serta konsisten dengan skenario pembatasan pemanasan global maksimal 1,5°C.
Sebaliknya, Indonesia dinilai memberikan ruang yang terlalu longgar. Proyek industri yang masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, misalnya, tetap bisa dikategorikan sebagai aktivitas transisi, cukup dengan memenuhi regulasi dalam negeri dan menyampaikan komitmen umum dekarbonisasi.
“Taksonomi Indonesia menghargai niat, bukan dampak. Tidak ada syarat untuk menunjukkan pengurangan emisi bertahap, atau bukti verifikatif bahwa emisi benar-benar turun,” tambah Hans.
Investor butuh kepastian
Kritik ini muncul di tengah meningkatnya perhatian global terhadap standar investasi hijau. Investor internasional, terutama institusi keuangan yang berorientasi pada prinsip ESG (environmental, social, governance), kini menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam skema transisi energi dan dekarbonisasi industri.
Menurut Managing Director ESI, Christina Ng, proses revisi taksonomi yang saat ini tengah berlangsung harus dimanfaatkan untuk memperbaiki arah kebijakan. Ia menekankan, taksonomi bukan hanya instrumen teknis, melainkan sinyal strategis yang akan menentukan kepercayaan investor global terhadap arah transisi Indonesia.
“Kredibilitas visi industri hijau Indonesia bergantung pada kekuatan taksonomi ini. Jika terus dibiarkan longgar, kita justru akan kehilangan peluang investasi yang benar-benar mendukung ekonomi rendah karbon,” tegas Christina.
Taksonomi keuangan berkelanjutan adalah sistem klasifikasi resmi yang menetapkan aktivitas ekonomi dalam tiga kategori: hijau (berkelanjutan), transisi (menuju keberlanjutan), dan tidak berkelanjutan. Skema ini menjadi rujukan bagi investor dan pembuat kebijakan untuk menentukan arah pendanaan dan insentif pembangunan ekonomi rendah emisi.
Namun dalam TKBI saat ini, masih ada celah yang memungkinkan aktivitas dengan intensitas emisi tinggi—tanpa roadmap transisi yang kredibel—tetap memperoleh label hijau atau transisi. Ini dikhawatirkan akan memperpanjang ketergantungan Indonesia pada batu bara, justru saat negara-negara lain mulai meninggalkannya.
“Jika pemerintah serius ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat industri hijau global, terutama di sektor mineral kritis dan baterai kendaraan listrik, maka taksonomi ini harus diselaraskan dengan standar sains dan target iklim global,” pungkas Hans. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)