Jakarta – Greenpeace Indonesia mengkritik keputusan pemerintah memberi izin operasi sementara kepada PT Gag Nikel. Dalam keterangaan tertulis, Jumat, 19 September, organisasi lingkungan itu menilai langkah ini berpotensi mengorbankan ekosistem laut Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang menjadi rumah bagi 75% spesies terumbu karang dunia.
“Raja Ampat bukan sekadar harta nasional, ia adalah warisan dunia. Memberikan izin tambang untuk beroperasi lagi di wilayah ini menunjukkan keserakahan pemerintah dan korporasi, yang menempatkan perlindungan lingkungan di bawah keuntungan jangka pendek,” tegas Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Pemerintah sebelumnya menegaskan bahwa izin operasi bagi PT Gag Nikel bersifat sementara. Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa izin ini diberikan semata-mata untuk kebutuhan audit lingkungan.
“Kalau audit lingkungan tidak beres, bisa ada dua kemungkinan yakni dilanjutkan atau dihentikan. Jadi izin ini untuk memastikan praktik pertambangan sesuai good mining practice,” kata Tri di Jakarta.
Ia juga menyebut Pulau Gag berada lebih dekat ke Maluku Utara dibandingkan inti wilayah Raja Ampat yang ditetapkan sebagai geopark. Namun, pemerintah menegaskan akan bertindak jika ditemukan potensi kerusakan lingkungan selama audit berlangsung.
“Kalau audit lingkungan tidak ada masalah, ya sudah go ahead (lanjut operasi),” ujarnya.
Langgar UU dan komitmen iklim
Greenpeace menilai langkah pemerintah justru bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta melemahkan komitmen iklim Indonesia.
“Kami sangat prihatin karena keputusan ini melanggar undang-undang, sekaligus merusak masa depan ekosistem terumbu karang yang menjadi sumber pangan dan penghidupan jutaan orang. Ini bentuk pengkhianatan terhadap komitmen iklim dan memperdalam krisis ekologis,” tambah Arie.
Greenpeace bersama lebih dari 60.000 orang yang telah menandatangani petisi #SaveRajaAmpat mendesak pemerintah mencabut izin PT Gag Nikel. Mereka juga menolak rencana pembangunan smelter di Sorong maupun perluasan tambang di kawasan Raja Ampat.
“Tak ada nikel yang sepadan dengan hancurnya ekosistem Raja Ampat yang disebut-sebut sebagai surga terakhir di Bumi ini. Melindungi Raja Ampat berarti melindungi kehidupan, bagi rakyat Papua, Indonesia, dan dunia,” pungkas Arie. (Hartatik)
Foto banner: Warga Desa Manyaifun, dengan latar belakang Desa Manyaifun dan bukit-bukit Pulau Batang Pele. © Alif R Nouddy Korua/Greenpeace


